Depoedu.com-Saya dikirimi foto oleh kakak saya. Keponakan saya yang nomor dua, mengenakan baju “suster”. Anak kelas 4 SDK Witihama ini, nampak tersenyum. Saya menangkap kesan bangga di matanya.
Karnaval menjelang 17 Agustus, selalu dinantikan semua kalangan. Tradisi yang entah kapan dimulai ini menjadi sesuatu yang baik, tentu saja.
Anak-anak menantikannya. Mereka dapat memakai kostum terbaik yang mereka pilih. Kostum yang menggambarkan cita-cita yang ingin mereka raih. Ketika besar nanti.
Tidak hanya anak-anak. Remaja, Para pemuda pemudi, bahkan orang tua pun, menyambut karnaval dengan suka cita. Memakai kostum terbaik mereka. Berarak keliling kampung. Penuh canda dan tawa. Semua terhibur dan menghibur diri.
Aksi-aksi teatrikal ditampilkan. Ada yang memparodikan peristiwa tertentu. Mencoba menggambarkan sejarah masa lalu dalam aksi mereka saat karnaval. Pun ada yang tampil apa adanya, sekedar demi hiburan semata.
Anak-anak gembira karena impian mereka setidaknya terwujud walaupun hanya mengenakan kostum sesuai profesi impian mereka, saat karnaval. Para orang tua senang menjadi bagian dari pertunjukan keliling kampung, mungkin hanya sekedar aktualisasi diri.
Benar bahwa karnaval adalah semacam acara hiburan yang dinantikan oleh banyak orang. Menjadi ajang pertunjukan yang menggembirakan hati. Diikuti dan dirayakan dengan hati riang oleh semua kalangan. Dari anak TK hingga para sesepuh.
Di Flores Timur misalnya, karnaval dirayakan di banyak tempat. Untuk maksud tulisan ini, saya mengambil studi kasus kecil tentang karnaval di Witihama, Pulau Adonara.
Di Witihama, seperti yang saya gambarkan di atas, karnaval menjadi kegembiraan banyak orang. Karnaval diikuti dan dihadiri oleh semua kalangan. Tua maupun muda, anak kecil hingga orang-orang tua.
Saya mengikuti karnaval di Flores Timur, terutama di Witihama, melalui berbagai media sosial. Ada siaran langsung youtube, juga dari banyak postingan di Facebook. Saya gembira melihat banyak orang menikmati keramaian karnaval.
Namun ada yang mengganggu dari tayangan-tayangan itu. Bahkan semakin mengganggu ketika banyak orang yang saya anggap sebagai tokoh memposting dan memberi tanggapan atas sebagian kecil dari peristiwa karnaval di Witihama, yang menurut saya tidak pas.
Baca juga : Optimalisasi Peran Konselor Sekolah Atasi Darurat Kekerasan Seksual di Sekolah
Hanya sebagian kecil peristiwa. Sayangnya, yang sedikit itu seolah menjadi point penting yang membuat karnaval secara keseluruhan menjadi keren. Peristiwa kecil inilah yang sangat mengganggu saya.
Menanggapi ini, saya membuat postingan di laman Facebook. Saya menulis bahwa Karnaval harus ramah anak. Banyak tanggapan yang muncul. Namun saya menangkap kesan bahwa banyak dari kita ternyata tidak peka.
Bahwa sebagian kecil atraksi yang dipertontonkan saat karnaval di Witihama yang dibilang keren itu, justru bisa saja menjadi sesuatu yang “sangat merusak” terutama para anak-anak. Inilah yang membuat saya gelisah. Dan kegelisahaan ini menghantar saya menghadirkan tulisan ini.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anna Rafi Nabila dan Mohamad Syahrir Sugandi dari Telkom University tentang “Pengaruh Film Joker terhadap Agresivitas Penonton Remaja di DKI Jakarta,” sedikit banyak membantu saya menegaskan dampak buruk sebuah tontonan.
Hasil penelitian tersebut menegaskan bahwa ternyata Film Joker membuat 65,9 % remaja DKI yang menontonnya menjadi lebih agresif.
Remaja yang notabene sudah memiliki filter saja ternyata terpengaruh oleh berbagai adegan kekerasan dalam film Joker ini. Bagaimana dengan anak-anak kita yang melihat berbagai atraksi ‘sadisme’ yang ditampilkan saat karnaval di Witihama?
Anak-anak adalah peniru. Mereka belajar dari melihat. Menyimpannya dalam alam bawah sadar. Mereka belum punya filter yang memadai. Apapun yang dilihat bisa saja disimpannya secara utuh yang kemudian masuk ke dalam alam bawah sadarnya.
Dalam tahap yang sangat mengganggu saya, adalah ketika melihat orang-orang dewasa memerankan adegan orang terluka, tertusuk sebatang bamboo, digambarkan berdarah-darah. Tidak hanya itu, ada teatrikal orang terluka oleh benda tajam lain, ada yang terlihat tergantung/digantung dengan tali.
Sebagai orang dewasa, saya paham betul bahwa teatrikal ini adalah hasil kreatif, (mungkin) ditayangkan pertama kali, sebagai sebuah inovasi yang menghibur. Karena saya tahu persis rancang bangun bagaimana benda tajam itu bisa menembus tubuh manusia.
Bagaimana dengan anak-anak yang hanya melihat, tanpa tahu dan tanpa diberi tahu bahwa itu hanya aksi teatrikal, hanya untuk menghibur?
Tayangan kekerasan, dalam proses maupun hasil sebuah tindakan kekerasan, sangat mempengaruhi psikologis anak-anak. Anak yang terpapar tontonan sadis berpotensi akan mengalami beberapa perilaku menyimpang yang serius.
Baca juga : “Gema Merah Putih” Meriahkan Perayaan HUT ke-79 RI di SMA Tarakanita Magelang
Laman Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kpai.go.id tanggal 24.02.2018, menulis bahwa anak yang melihat tontonan sadis cenderung menunjukkan perilaku:
Pertama; Agresif.
Anak-anak yang belum punya filter yang melihat tayangan kekerasan cenderung meniru tindakan-tindakan tersebut. Ia cenderung bersifat agresif kepada teman sebayanya saat bermain.
Bahkan sifat agresif ini tidak hilang. Ketika dewasa, anak-anak yang terpapar dengan tayangan kekerasan cenderung menjadi pelaku kekerasan.
Mereka bahkan berpotensi dua kali lebih besar menjadi pelaku kekerasan kepada orang-orang terdekatnya saat dewasa. Korbannya biasanya pasangan bahkan kepada anak-anak mereka.
Kedua: Kadar Sensitivitas Berkurang.
Tayangan sadis yang mereka lihat membuat mereka kehilangan kepekaan dan menganggap bahwa sesuatu yang seperti mereka tonton bukan sesuatu yang luar biasa. Sadisme yang mereka tonton adalah hal yang biasa, bisa menghibur.
Mereka cenderung tidak terkejut ketika mengalami bahkan menjadi pelaku kekerasan, kehilangan kepekaan terhadap rasa sakit dan penderitaan orang lain. Kemungkinan, mereka juga kehilangan empati pada korban kekerasan.
Ketiga: Perasaan Negatif.
Tontonan sadis misa saja memberi gambaran kepada anak-anak bahwa kekerasan bisa diterima dan menjadi solusi atas konflik. Di dalam benak mereka bisa saja muncul kesimpulan bahwa kekerasan tidak menyakitkan, dan bisa menjadi solusi atas masalah mereka.
Keempat: Trauma.
Tontonan sadis yang mereka lihat tidak hanya menjadikan anak-anak agresif. Tontonan sadis juga bisa membuat anak-anak takut, trauma dan menarik diri pergaulan.
Ketakutan yang demikian ini bisa saja menimbulkan sikap curiga dan memusuhi orang lain tanpa alasan.
Tayangan sadis dalam karnaval bisa saja menimbulkan dampak yang luar biasa pada anak-anak. Karena itu, sebagai orang dewasa, kita harus memiliki kepekaan dan tanggungjawab untuk menghadirkan karnaval yang ramah pada anak-anak.
Karnaval harus menjadi ajang tumbuh kembang, kesempatan kepada anak-anak untuk belajar berbagai hal baru dengan gembira. Ini adalah tanggung jawab kita sebagai orang dewasa.
Tulisan ini pernah tayang di eposdigi.com, ditayangkan kembali dengan seizin penulis.