Dari Dinding-dinding Absurd

DEPO Topik
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com- Tak ada euforia, semua tampak seperti adanya. Tak lebih dan tak kurang. Hidup yang proposional–memegang prinsip keugaharian.

Tumbuh dewasa, kita mulai merasakan problem realita hidup sesungguhnya. Kesadaran akan hidup yang berat seperti hidup yang penuh gejolak persoalan, pengorbanan yang sia-sia, rasa sakit tak tereda, putus asa, dikecewakan, dilecehkan, ditinggalkan, dikucilkan.

Atau rasa diri tak pantas dan lainnya muncul tak diundang, tak beraturan kemudian tinggal diam menetap dalam pikiran setiap orang. Ada yang menjalani hidup tanpa memikirkannya, ada yang berusaha mengelak kesadaran tersebut, dan bagian terakhir, sebagian dari kita terjebak dalam kesadaran tersebut berlarut-larut.

Hidup menjadi tak bermakna, sia-sia. Menatap ke atas langit penuh kekosongan. Dunia seakan berhenti tepat di depan mata kita. Dunia bahkan acuh tak acuh, tak peduli pada keberadaan kita, meski kita berusaha mendekatinya.

Dunia serasa hening meski seluruh pikiran telah memikirkannya kuat-kuat. Dunia seolah meninggalkan kita. Apa karena kita telah mengacaukan sesuatu atau mengambil sesuatu darinya sehingga banyak hal buruk dalam hidup datang bergilir menghantui bahkan merongrong diri kita.

Kita mengingini kehidupan yang adil,  seorang koruptor misalnya harus dihukum seberat-beratnya namun nyatanya tidak. Perusak lingkungan ditangkap dan dihukum, nyatanya sulit dihukum. Keinginan akan hidup yang damai tanpa perang, nyatanya di dunia ini perang tetap terjadi dimana-mana.

Nyawa harus dihargai, tapi nyatanya pembunuhan terjadi dimana-mana. Hukum harus adil, nyatanya tidak. Dalam kasus perselingkuhan misalnya seorang istri yang menginginkan suami dan selingkuhan suami itu hidup menderita karena telah merusak rumah tangganya tetapi nyatanya mereka (suami dan selingkuhan) hidup lebih bahagia dan sebaliknya.

Seorang buruh bekerja lebih banyak dari majikannya namun tak kaya-kaya. Seorang anak yang belajar dengan serius tapi tetap saja tidak lulus ujian. Seorang anak yatim atau piatu yang menginginkan kehangatan sebuah kehidupan keluarga yang ideal.

Baca juga : Perempuan Juga Berhak Mengenyam Pendidikan Tinggi

Namun nyatanya dunia tak menyediakannya atau terakhir, anak tersebut punya impian jadi kepala daerah tapi nyatanya jadi kepala daerah butuh biaya yang mahal dan atau minimal punya bapak seorang presiden sekaligus paman ketua MK (Mahkama Kesaktian)—semua ditabrak oleh martabak dan ditebang oleh penjual pisang.

Dalam kehidupan yang paling tertata sekalipun, selalu ada momen ketika strukturnya ambruk. Kenapa begini, kenapa begitu, kenapa bersama wanita ini, kenapa aku ambil pekerjaan itu, kenapa aku mendambakan masa depan? Singkatnya, mengapa hasrat hidup dalam sebuah tubuh ditakdirkan untuk membusuk?

Perasaan yang lazim bagi kita semua. Bagi sebagian besar orang, mendekatnya jam makan malam, notif pesan whatsapp dari seorang HTS (hubungan tanpa status), atau senyuman dari seorang gadis yang berpapasan dengannya cukup membantu mereka mempertahankan hidup.

Namun orang yang suka berpikir secara mendalam mendapati bahwa berhadapan dengan hal-hal semacam itu membuat hidupnya mustahil (dijalani). Hidup dengan perasaan bahwa hidup ini tak bermakna mengarah pada kesengsaraan dan yang kita dapati di dasar tindakan paling elementer itu adalah keabsurdan fundamentalnya.

Hal-hal di atas merupakan sebuah realita yang kita alami sehari-hari. Pertentangan antara keinginan manusia dengan dunia yang acuh tak atuh (hening). Pertentangan yang tak terdamaikan tanpa akhir sudah sejak lama ada dan akan terus ada.

Tak ada wasit ataupun dewi fortuna yang datang sebagai pelipur lara. Antara manusia dan dunia (realita) ada jurang abadi, di mana kita ingin mengenali, menggengam sekaligus memaknai dunia tapi nyatanya dunia ini tak menyediakan makna, dunia acuh tak acuh terhadap kita.

Sungguh absurd bukan. Ya pada kondisi ini, perlahan-lahan kita diserang bahkan dihantui keinginan untuk bunuh diri—baik secara pikiran (filosofis) artinya jatuh pada lompatan iman, maupun fisik (meregang nyawa).

Persoalannya kenapa tiba-tiba kita dihasut untuk bunuh diri tanpa tahu siapa, kenapa dan apa yang menghasut, hanya tersedia kegamangan perasaan dan keterasingan diri yang absolut.

Kesadaran bahwa hidup adalah absurd tidak bisa menjadi pamungkas segala sesuatu, justru baru permulaan. Ini sebuah kebenaran yang menjadi titik tolak. Bukan penemuan (kesadaran) itu sendiri yang menarik, melainkan konsekuensi dan aturan untuk bertindak yang bisa diambil dari situ.

Baca juga : Muhammadiyah Tambah Lima Universitas Baru Hasil Merger

Kejernihan yang sangat menyakitkan di ujung perjalanan absurd, ada gerak pertama membukakan pintu pemberontakan abadi, jika kita bertahan menjadi pengendali sepenuhnya atas hidup kita.

Jika hidup ini tak bermakna, apakah aku harus bunuh diri? Jawabannya adalah tidak. Tesis pertama, kita harus hidup terlebih dahulu untuk mengetahui ketidakbermaknaan tersebut. Jika seseorang bunuh diri, dia tidak akan sampai pada persoalan ketidakbermaknaan hidup.

Hidup terlebih dahulu untuk memaknai ketidakbermaknaan, dengan demikian kita akan memilih hidup daripada kematian. Memilih hidup adalah pemberontakan sejati dan pemberontakan sama dengan kebebasan. Keontetikan hidup ada di sana karena kita jujur, apa adanya, tak lebih tak kurang.

Semua tampak seperti adanya. Kedua, karena kita tetap hidup, kitapun menghargai kehidupan itu sendiri bahkan kehidupan sesama kita. Timbul kolektivitas sesama manusia. Dari individu yang bebas akhirnya membebaskan kehidupan individu yang lain.

Moralitas humanisme yang dibangun dari kejujuran individu yang absurd ke kolektivitas sesama yang sesungguhnya. Kondisi absurd hidup tersebut dihadapi sekaligus dirangkul akan menghasilkan kegembiraan.

Sama seperti “menangkap layang-layang”, tak ada kalkulasi pasti yang bisa dibuat untuk menangkap layang-layang dan tak ada kepastian yang absolut, namun sekaligus kita bergembira karena berusaha menangkapnya. Meski hidup ini tak layak, tak ada makna, tetap harus dijalani.

Secara sadar dijalani, kitapun mencintai kehidupan kita dan sesama secara otentik tanpa prasangka-prasangka teologis, akan melahirkan kreativitas hidup yang baru. Seni yang bebas dari tuntutan. Seni tanpa otoritas, begitupun kehidupan tanpa otoritas-otoritas semu.

Kita adalah Sisifus. Sisifus yang bebas. Sudah layak dan sepantasnya, Sisifus bahagia menjalani absurditas hidup.

Foto: Keepo.me

Penulis adalah Pendiri Komunitas Filsafat Jalanan

3.5 2 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments