Peningkatan Partisipasi Pendidikan, Feodalisme dalam Pendidikan, dan Perkembangan Demokratisasi

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com-Secara faktual Pemerintah Indonesia, sejak zaman Orde Baru hingga pemerintahan Presiden Jokowi, konsisten mengupayakan agar semua warga negara memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan. Inilah salah satu bentuk pelaksanaan nilai-nilai demokrasi di bidang pendidikan. 

Pemerintah Orde Baru misalnya, dengan instruksi Presiden, mendirikan Sekolah Dasar di hampir semua desa di Indonesia yang dikenal dengan SD Inpres, untuk menyediakan akses bagi semua anak usia sekolah, untuk mengenyam pendidikan dasar. 

Kebijakan ini kemudian dilanjutkan dengan pendirian sekolah-sekolah negeri oleh pemerintah, baik di jenjang SMP maupun SMA untuk mewadahi lulusan SD, hingga lulusan SMP, untuk melanjutkan pendidikan di jenjang SMP dan SMA. 

Karena keterbatasan ekonomi, banyak orang tua tidak melanjutkan pendidikan anak selepas pendidikan SD. Keprihatinan ini ditanggapi oleh pemerintah dengan kebijakan wajib pendidikan dasar 9 tahun dan kini telah menjadi pendidikan wajib 12 tahun, dengan menggratiskan biaya pendidikan di SD hingga SMA/SMK.   

Dengan kebijakan ini, semua anak Indonesia wajib menempuh pendidikan hingga 12 tahun, hingga lulus sekolah menengah atas. Kebijakan ini diikuti dengan menggratiskan biaya pendidikan di sekolah-sekolah negeri, hingga sekolah menengah atas. 

Bahkan di beberapa daerah, di mana pemerintahnya memiliki sumber daya dan anggaran pembangunan yang cukup, seperti Kota Tangerang, biaya pendidikan di beberapa sekolah swasta pun ikut digratiskan. 

Kebijakan lain dalam rangka demokratisasi pendidikan adalah pemberian beasiswa untuk murid dari keluarga miskin untuk melanjutkan pendidikan, dan beasiswa untuk murid berprestasi dari SD hingga SMA, dengan berbagai skema. Di jenjang perguruan tinggi ada beasiswa pendidikan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. 

Selain itu, sejak reformasi, pemerintah juga memberikan subsidi dana operasional sekolah, baik bagi sekolah swasta maupun pada sekolah negeri. Dengan kebijakan subsidi ini, pemerintah mengharapkan mutu pengelolaan program pendidikan semakin meningkat. 

Semua kebijakan ini, selain untuk membuka akses bagi warga negara untuk mengenyam pendidikan seluas-luasnya sebagai bentuk demokratisasi di bidang pendidikan. Namun jumlah partisipasi tinggi, tidak otomatis menggambarkan  capaian mutu  pendidikan. 

Di sinilah letak masalahnya. Meskipun kuantitas partisipasi anak usia sekolah meningkat, namun tidak otomatis menggambarkan mutu pendidikannya. Itu artinya, terbukanya akses pendidikan tidak otomatis menggambarkan kualitas demokratisasi di bidang pendidikan. 

Baca juga : Masih Dibuka Pendaftaran Menjadi Duta SMA Tahun 2024

Atau, demokratisasi pendidikan dalam jumlah belum tentu berdampak pada peningkatan demokratisasi warganegara dalam kehidupan bernegara sebagai salah satu indikatornya, jika proses pendidikan warga negara, tidak meningkatkan mutu warga negara tersebut sebagai manusia. 

Oleh karena itu, peningkatan partisipasi pendidikan, tidak otomatis berhasil meningkatkan kedaulatan rakyat dan mutu partisipasi demokrasi warga negara, dalam kehidupan bernegara.  Apa penyebabnya? 

Feodalisme dalam pendidikan

Banyak ahli pendidikan mengaitkan fenomena ini dengan masih kuatnya kultur feodalisme dalam mentalitas masyarakat kita, termasuk dalam mentalitas birokrasi pendidikan kita, di mana pejabat birokrasi pendidikan, termasuk kepala sekolah dan guru, termasuk dalam kategori ini. 

Feodalisme adalah istilah politik untuk menggambarkan usaha penguasa atau pemimpin untuk mengendalikan bawahannya baik secara langsung maupun melalui mitra-mitranya. Maka feodalisme merujuk pada perilaku tertutup, tidak terbuka pada dialog, karena bertahan pada nilai lama yang sudah ditinggalkan.

Para penguasa tersebut memiliki kewenangan yang mutlak benar, mereka menjadi pusat yang menentukan segala sesuatu, termasuk kebenaran, karena posisi dan statusnya dalam struktur. Karena posisi mereka dalam struktur, maka sebagai atasan, mereka otomatis dihormati. 

Orang-orang yang berada di bawah struktur tersebut harus setia, mengikuti apa yang mereka katakan. Selain itu, sebagai atasan, mereka adalah subjek, oleh karena itu menentukan bawahan mereka. Sedangkan mereka yang berada di bawah  adalah objek, yang sepenuhnya  ditentukan. 

Dalam sejarah kekuasaan umat manusia, sikap feodal yang kemudian membentuk kultur feodalisme ternyata mengakar pada ego untuk terus berkuasa dan keterbatasan keterampilan maupun wawasan  pemimpin tersebut. 

Keadaan ini kemudian melahirkan sikap tertutup, sikap memutlakkan pendapat sendiri dan menutup diri pada kemungkinan untuk dialog. Menurut saya, kultur ini jugalah, yang banyak kita temui dalam perilaku di kalangan  birokrat pendidikan kita, termasuk perilaku pengelola sekolah kita, termasuk orang tua, kepala sekolah, dan guru-guru kita. . 

Inilah yang  menjadi akar dari kultur feodalisme pendidikan kita. Praktik feodalisme di bidang pendidikan tersebut mudah diamati dalam praksis pendidikan seperti berikut ini:

Relasi antara guru dan murid

Relasi yang dibangun  sehari-hari antara guru dan murid adalah relasi kekuasaan, di mana guru adalah penguasa sedangkan murid adalah pribadi yang dikuasai oleh guru. Sebagai pribadi yang dikuasai, murid harus menghormati dan menjaga wibawa guru, 

Dalam relasi kekuasaan tersebut, juga bagi murid kelas besar (SD kelas 4,5,6, SMP dan SMA), guru yang membuat peraturan. Murid dan orang tua tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan aturan, dan murid wajib melaksanakan aturan tersebut. 

Baca juga : Yoga Menjadi Kurikulum Sekolah Di Kosovo

Sebagai pribadi yang berkuasa, guru cenderung  memberi nasehat daripada mendengarkan murid. Kalau guru memberikan nasehat, murid harus mendengarkan dan tidak boleh membantah. Guru cenderung marah jika ada murid yang membantah.   

Dalam penyusunan program pendidikan, juga di kelas-kelas besar, program disusun oleh kepala sekolah bersama guru, dan murid wajib melaksanakan. Murid tidak dilibatkan dalam menyusun program kegiatan, bahkan program tersebut tidak mempertimbangkan minat murid.  Dalam relasi kuasa ini, guru adalah subjek dan murid adalah objek,

Hal ini terjadi karena kita masih berpikir bahwa, yang paling memahami kebutuhan, minat anak, dan program yang dapat mengembangkan murid adalah kepala sekolah dan guru. Sekolah pun jarang melibatkan orang tua, bukan hanya di kelas besar, tetapi juga di kelas kecil dimana, orang tualah yang seharusnya paling mewakili anak.  

Sikap guru terhadap murid kritis

Dengan adanya diferensiasi sumber ilmu pengetahuan saat ini, di mana ada keragaman sumber pengetahuan yang bisa diakses oleh murid, baik melalui internet, media sosial, website, maupun jurnal online, di hampir semua kelas terdapat banyak murid kritis.  

Keberadaan di kelas cenderung tidak diapresiasi dan tidak diakomodir oleh guru dalam proses belajar mengajar, bahkan kehadiran mereka sering dianggap sebagai rongrongan bagi guru. Dan guru tetap mengajar dengan metode pengajaran yang konvensional, dan memaksa murid kritis ini menyesuaikan diri dengan metode mengajar guru. 

Guru tidak berusaha melakukan adaptasi pada tuntutan para murid dengan berusaha menguasai pendekatan dan metode pengajaran yang lebih akomodatif terhadap terhadap kehadiran para murid kritis di kelas-kelas, seperti pendekatan konstruksi dengan metode proyek. 

Dengan metode ceramah, murid tidak diberi peluang untuk menyampaikan pemahamannya, dibiarkan pasif, mendengarkan informasi yang disampaikan guru, mencatat informasi dan pengetahuan versi guru. Murid tidak diberi ruang untuk menginterupsi, menyampaikan pendapat. dalam diskusi kelas yang melibatkan interaksi dengan semua murid.

Secara keseluruhan dua situasi ini menggambarkan proses pendidikan, yang tidak bermutu. Oleh karena itu, tidak akan membentuk para murid menjadi manusia yang bermutu sebagai bagian dari proses transformasi menjadi warga negara yang lebih berdaulat, sebagai syarat berpartisipasi dalam kehidupan bernegara yang lebih demokratis.      

Maka untuk membentuk warga negara yang berdaulat, mendesak diupayakan proses transformasi di bidang pendidikan untuk mengikis kultur feodalisme dalam praktik pendidikan kita. Karena kultur feodalisme sangat menghambat upaya untuk mewujudkan pendidikan bermutu, sebagai landasan membentuk masyarakat yang lebih demokratis.        

Selama kultur feodalisme masih kuat dalam perilaku para pelaku pendidikan, maka peningkatan partisipasi pendidikan tidak berdampak dalam demokratisasi dan peningkatan kedaulatan warga negara. Maka upaya peningkatan partisipasi pendidikan pada konteks seperti itu, merupakan upaya yang tidak produktif. 

Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2024. 

Foto: Warta Sambas Raya

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments