Depoedu.com-Seorang guru, yang sehari-hari bertugas sebagai tim disiplin di SMPN 1 Sidodadi Lamongan, membotaki 19 murid perempuan kelas IX pada Rabu, (23/8/2923) di sekolah tersebut, karena kedapatan melanggar aturan sekolah. Mereka tidak mengenakan ciput, atau dalaman kerudung.
Para murid yang tidak terima pun melaporkan aksi ini pada orang tua mereka. Orang tua dari 19 murid ini pun marah karena perlakuan ini. Dan aksi guru inipun kontan menuai kecaman dari banyak pihak, karena dinilai ngawur, tidak wajar dan merugikan murid.
Salsa, salah satu murid yang rambutnya dicukur, megaku merasa sedih atas perlakuan tersebut, karena rambut bagian depan dicukur semuanya. Seperti dikutip BBC, ia mengaku, ketika hendak pulang mereka dipanggil dan dicukur. Mereka tidak diperingatkan terlebih dahulu sebelum mereka dicukur.
Sedangkan laporan yang diturunkan Kompas pada Selasa (29/8) menulis, EN Ibu guru yang mencukur 19 murid tersebut, sudah sering mengingatkan para murid untuk selalu mengenakan dalaman jilbab atau ciput. Mereka kedapatan tidak mengenakan hari itu.
Baca juga : Prestasi Nasional, Internasional, Diraih Peserta Didik SMP Tarakanita 1 Jakarta
Setelah memperoleh reaksi dari berbagai pihak, Harto Kepala SMPN 1 Sukodadi menegur EN dan mendampingi EN mendatangi rumah para murid untuk minta maaf atas kejadian tersebut. Besoknya, Kamis (24/8/2023), sekolah mengundang orang tua menghadiri proses mediasi di sekolah.
Dalam mediasi yang dihadiri 10 dari 19 orang tua yang anaknya mengalami pembotakan, EN memberikan penjelasan tentang kejadian dan minta maaf pada orang tua atas kejadian tersebut. Kata Kepala Sekolah, orang tua telah paham dan menerima kejadian tersebut.
Sebagai tindak lanjut dari kejadian tersebut, sekolah berjanji akan menyediakan psikolog untuk melakukan pendampingan pada para murid tersebut untuk mengatasi trauma sebagai dampak dari tindakan pendisiplinan guru tersebut.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan Munif Syarif, seperti di lansir pada laman BBC mengatakan, pihaknya menyesalkan tindakan guru tersebut. Selain mendorong upaya penyelesaian dari pihak sekolah, EN sudah ditarik untuk sementara dan menjadi staf nonjob di Dinas Pendidikan.
Langkah penarikan ini kata Munif, agar guru yang bersangkutan melakukan evaluasi diri dan menjadi pembelajaran bagi sekolah-sekolah yang lain untuk tidak melakukan langkah yang sama dalam menertibkan para murid.
Baca juga : Nadiem Makarim; Skripsi, Tesis Dan Disertasi Hanya Salah Satu Alternatif Tugas Akhir Mahasiswa
Meskipun memahami tindakan EN, namun menurutnya tindakan EN memang kurang pas. Sebagai guru harusnya ada pendekatan yang lebih baik bagi murid yang melanggar aturan sekolah. Kata Munir, harusnya yang menghukum murid yang melakukan pelanggaran itu, guru BK, bukan guru bidang studi.
Sedangkan peneliti dan penggiat HAM dari Human Rights Watch Andreas Harsono, mengatakan bahwa tidakan guru seperti ini merupakan tindakan perundungan alias tindakan bullying. Karena tindakan ini memang tidak berdarah, tetapi mempengaruhi psikis para murid. Ini tindakan berlebihan.
Kata peneliti HAM ini, ia mewawancarai kurang lebih 1.500 korban perundungan sebagai akibat penanganan yang berlebihan, aturan terkait ketentuan tentang jilbab, banyak murid yang menderita stress, menangis di WC sekolah, bahkan tidak ingin kembali ke sekolah.
Oleh karena itu menurutnya, ini hendaknya menjadi perhatian serius pemerintah, terutama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Bahkan menurutnya, aturan mengenai jilbab perlu ditinjau kembali.
Foto: VOI