Depoedu.com – Keinginan yang tidak terkabulkan, tujuan yang belum tercapai, dan kenyataan yang tidak sesuai harapan, memang mengecewakan. Kekecewaan ini wajar. Menjadi tidak wajar ketika rasa kecewa itu menjadi pemicu amarah seseorang. Yang menjadikan sebuah bentuk emosi menjadi tidak sehat adalah reaksi ikutan dari bentuk emosi itu. Yang harus sungguh dikendalikan adalah reaksi ikutan ketika marah.
Seseorang yang tidak dapat mengendalikan amarahnya sering memperlihatkan reaksi ikutan tertentu. Berteriak, mengumpat dengan kata-kata kotor, agresif, hingga melakukan kekerasan fisik adalah reaksi ikutan dari emosi yang tidak dapat dikontrol tersebut.
Semakin seseorang bereaksi secara negatif atas emosi marahnya, semakin ia tidak dapat berpikir secara sehat. Kortisol yang dilepaskan bertubi-tubi oleh kelenjar endokrin sudah membanjiri pusat logikanya. Itulah kenapa ketika sedang marah seseorang pasti tidak akan mendengar atau menerima nasihat apapun.
Pun ketika Adrenalin membanjiri seluruh sel-sel saraf, mendorong seseorang yang penuh amarah cendrung bersikap membabibuta. Agresifitas bahkan mengarah pada kekerasan fisik mungkin terjadi karena dorongan Adrenalin. Semakin berbahaya seorang pemarah ketika agresifitasnya diperparah dengan hilangnya akal sehat.
Namun emosi, terutama marah dapat dikelolah. Aristoteles hanya membenarkan marah apabila dilakukan pada orang yang tepat, dengan tingkat kemarahan yang sesuai, pada waktu yang pas, untuk tujuan yang benar, dan kemarahan ditunjukan dengan cara yang benar.
Mengelolah amarah sesuai kriteria Aristoteles tentu bukan perkara mudah. Namun bukan tidak dapat dilakukan. Pertama, kenali emosi Anda. Apakah Anda sedang kecewa, sedih atau sedang marah. Kedua, terima emosi Anda. Jangan ditolak atau dilawan. Terima bahwa anda sedang marah, sedang kecewa atau sedang sedih. Menerima dan mengenal emosi bisa dilakukan pada saat “time out”.
“Time out” dalam konteks ini jedah waktu antara munculnya emosi tertentu dengan reaksi akibat emosi tersebut. Kompas.com pada 18 Juni 2016 menulis bahwa “time out” adalah tindakan kita meninggalkan situasi emosi ketika kita merasakan emosi tersebut. Rentang waktu yang bisa jadi hanya sepersekiandetik ini adalah waktu yang sangat krusial. Dan semua manusia normal memiliki waktu jedah tersebut.
Memanfaatkan waktu jedah yang hanya sepersekian detik ini sangat menentukan bagaimana emosi, terutama amarah, dapat dikendalikan dengan baik atau tidak. Formasi (baca: formula) 6 – 4 – 2 adalah salah satu trik yang dapat digunakan. Dalam judul kami menulis “formasi”, sebenarnya tidak merujuk pada posisi tertentu. Dalam hal ini kata formasi lebih merupakan formulasi teknik pernafasan yang dilakukan yang pada kesempatan pertama “time out”.
Teknik pernafasan 6 – 4 – 2 harus dilakukan pada kesempatan pertama waktu “time out” yang hanya sepersekian detik itu. Menarik nafas panjang dan dalam dalam enam (6) kali hitungan, menahanya selama empat (4) kali hitungan dan mengeluarkanya dalam dua (2) kali hitungan. Tarikan nafas secara perlahan, namun dalam untuk mensuplai sebanyak mungkin oksigen menuju otak dan seluruh sel tubuh, menahanya untuk memastikan semua sel otak dan tubuh teroksidasi dan mengeluarkannya sesegera mungkin sisa oksidasi tersebut.
Semakin sering teknik pernafasan ini sangat tergantung pada kebutuhan masing-masing individu. Sebab yang dapat mengetahui dan mengukur tingkat emosi seseorang hanyalah orang itu sendiri. Semakin tinggi emosinya semakin banyak pula teknik pernafasan ini bisa diulangi. Hingga orang tersebut meyakini bahwa emosi negatif yang dialaminya sudah hilang.
Menarik nafas panjang juga menjadi sinyal yang mengirim pesan pada pusat amigdale bahwa emosi negatif sudah bisa ditenangkan. Dengan demikian amigdale dapat menekan kelenjar endokrin untuk menghentikan pasokan Adrenalin dan Kortisol yang membanjiri otak dan sel-sel tubuh. Surutnya Adrenalin dan Kotrisol menjadi sinyal bagi amigdale untuk memerintahkan kenjar pituari untuk melepaskan Endorfin guna menggantikan fungsi Kortisol mengobati rasa sakit. Hormon stress Kortisol digantikan oleh hormon pembawa rasa gembira, tenang dan bahagia; Endorfin.
Terhentinya Kortisol membanjiri lobus frontal juga berarti memberi kesempatan untuk berpikir lebih jernih dalam menanggapi emosi. Pikiran lebih jernih melahirkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam menanggapi emosi.
Dengan demikian, ketika marah, hal pertama yang mesti dilakukan adalah menarik nafas panjang, menahanya dalam waktu tertentu kemudian menghembuskannya lebih cepat. Tentu ini dapat meredahkan amarah dan mendamaikan hati. (Foto: idnews.co.id)
*(Inspirasi utama tulisan ini berasal dari meteri training “APP Culture House” yang diselenggarakan oleh APP Academi untuk karyawan APP, Sinar Mas Group, di KKM Karawaci tanggal 14 Mei 2019).