Depoedu.com – Sebuah kutipan cerita : Alkisah ada seorang anak yang sedang makan siang . Sambil makan dia memperhatikan bahwa gelas minumnya teramat indah dan pasti mahal harganya. Si anak mengangkat gelas itu dan kagum akan keindahannya. Kemudian dia mendenting gelas itu dengan sendok kecil. Keluarlah suara merdu yang menggembirakannya. Dua, tiga , empat kali dia ketuk. Semakin terpesona semakin keras dia ketuk, semakin indah dan merdu suara yang keluar dari gelas itu. Karena mendengar suara gelas yang diketuk berulang kali dan semakin lama semakin keras, maka datanglah sang bunda karena merasa terganggu oleh suara dentingan gelas. Anak itu dimarahi dan anak itu meletakan gelas itu kembali.
Cara Ibu ini merespon adalah cara respon yang banyak kita jumpai. Ibu tidak merespon keindahan ketukan yang dimainkan anak itu dengan gelas indah yang anak itu kagumi. Ibu itu juga tidak mencari tahu, ada maksud apa yang hendak disampaikan anak itu dengan ketukan indah. Seringkali fokus kita lebih pada gelasnya. Nanti gelasnya pecah. Itu kan gelas mahal. Jadi fokus kita bukan pada anaknya.
Ayah dan ibu, pendidik pertama dan utama, peristiwa di atas dialami oleh anak itu dari Ibunya sendiri. Melalui peristiwa seperti itulah dasar karakter reaktif anak dan karakter secara keseluruhan pada anak terbentuk. Ketika pergaulannya semakin luas, orang tua tetap menjadi pendidik yang pertama dan utama. Pun ketika lebih banyak waktu dihabiskan di sekolah pada masa kanak-kanak dan remaja. Orang tua tetap lebih mampu membentuk anak, termasuk membentuk anak secara rohani.
Guru adalah pihak kedua yang paling intens bersentuhan langsung dengan anak, setelah orang tua. Dunia pendidikan bagi guru adalah proses humanis dan merupakan kekayaan jiwa, bahkan keajaiban yang diberikan Allah SWT untuk bisa menyaksikan secara langsung pertumbuhan karakter dan fisik semua peserta didik dengan keunikannya, yang terefleksikan dari ucapan dan tindakan. Proses pendidikan yang baik, tentu oleh guru yang baik, membuat anak didik terus berubah, bertahan hidup, beradaptasi untuk menyesuaikan dengan kondisi lingkungan peserta didik itu berada.
Setelah menyelesaikan seluruh pendidikan di sekolah, peserta didik memasuki masyarakat. Masyarakat, bagi peserta didik kita adalah panggung ajang pembuktian diri bagaimana individu – individu yang telah memperoleh pengetahuan fisikal dan spiritual mampu mengenali, memilah dan mengendalikan situasi menjadi manfaat bagi kehidupannya. Masyarakat menjadi ruang bagi berbagai macam bentuk pemikiran dan tindakan. Di masyarakat inilah aturan- aturan dan konsekuensi ditetapkan. Segala macam kemungkinan hadir di sini. Keberhasilan dan kegagalan menjadi penilaian keberadaan. Harapannya adalah, sebagai orang tua dan guru kita telah memberikan bekal yang memadai kepada anak kita yang kelak kemudian hari akan ikut menjadi bagian dari suatu masyarakat. Lalu yang bagamanakah cara kita mempersiapkan ?
Apakah cara dan sistem pendidikan kita akan memberikan bekal ajaran di awal, sebagaimana kutipan cerita di atas dengan maksud menjaga supaya anak kita tidak memecahkan gelas bagus tadi. Ataukah kita memberinya hikmah setelah gelas itu pecah dengan maksud agar anak mengalami proses dan belajar dari tindakan yang diambilnya. (Oleh: Unggul Prakoso, guru pada SMA Global Islamic School, Serpong)