Depoedu.com – Judul di atas saya ubah dari sub judul “Membangun Bisnis Dengan Cara Membangun Komunitas” pada salah satu edisi jurnal A Leader to Leader Guide. Pada edisi tersebut, editor menurunkan sebuah wawancara yang sangat menarik dengan almahruma Anita Roddick, founder dan co chairman dari The Body Shop International. Body shop International adalah bisnis jasa perawatan kulit yang paling diakui di dunia dengan produk bahan-bahan alami. Sumber bahan bakunya didatangkan dari Negara berkembang sehingga dapat menyongkong pertumbuhan ekonomi lokal. Disamping itu, mereka aktif melakukan kampanye untuk mendorong pelaksanaan Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial di berbagai belahan dunia, menentang tes kosmetik yang menggunakan binatang, memberi kontribusi dana dan tenaga pada berbagai organisasi nirlaba, pada berbagai lokasi konflik dan negara berkembang.
Di satu pihak Anita Roddick menganjurkan bahwa untuk efektifitasnya organisasi nirlaba sudah harus bertindak dengan cara-cara bisnis yang baik yaitu bertindak lebih fokus dan lebih stategik. Tapi di pihak lain, Roddick juga melihat dan menganjurkan agar organisasi bisnis dalam menetapkan misinya, mengadopsi agenda organisasi nirlaba. Mereka tidak melihat hanya kepada peningkatan laba tetapi bagaimana agar bisnis lebih dirasakan dampak positif pertumbuhan oleh komunitas lokal.
Ia meyakini bahwa pertumbuhan bisnis tidak harus melawan nilai kemanusiaan dan merusak lingkungan. Roddick yakin bisnis dapat mendatangkan keuntungan sekaligus memperkuat nilai sosial dan kemanusiaan. Keuntungan bisnis dan pertumbuhan bisnis harus bisa dirasakan oleh komunitas di mana bisnis tersebut beroperasi. Oleh karena itu, ia menganjurkan konstruksi ulang definisi tentang keuntungan, pertumbuhan bisnis dan kesuksesan pengelolaan bisnis.
Sekolah Sebagai Entitas Bisnis
Sejak tahun delapan puluhan para pemilik modal, melirik dunia persekolahan sebagai sebuah entitas bisnis. Dengan dukungan modal yang besar, mereka merekrut para praktisi pendidikan dari sekolah yang sudah ada untuk turut mengembangkan berbagai sekolah baru. Sekolah-sekolah baru tersebut mengembangkan konsep dan idelisme pendidikan dan pengajaran yang maju, dilengkapi dengan fasilitas fisik yang menunjang. Operasional sekolah-sekolah baru tersebut didukung oleh modal besar dari kelompok usaha besar seperti Lippo Group, Ciputra Group, Argo Pantes Group, kemudian diikuti oleh kelompok usaha seperti Garuda Food dan terakhir Sinar Mas. Hadirnya sekolah-sekolah baru ini bukan merupakan bentuk respon sosial korporat. Motivasi bisnis murni kental terbaca dari real kebijakan pendidikan mereka. Empati pada masyarakat menengah bawah dan masyarakat bawah tidak muncul dari kebijakan pendidikan mereka.
Namun sisi positif juga terbaca dari kehadiran sekolah-sekolah baru ini. Sekolah-sekolah baru ini tidak hanya menjadi laboratorium pembelajaran yang kaya tentang pengelolaan sekolah bagi komunitas masyarakat modern. Juga memicu persaingan antara sesama sekolah, terutama pada sekolah-sekolah tua yang sejak tahun enam puluhan sampai awal tahun delapan puluhan, mengalami masa keemasan. Persaingan tersebut terjadi lantaran masyarakat menengah ke atas dengan mobilitas dan motivasi yang beragam, memiliki alternatif pilihan yang lain, selain pilihan yang sudah ada.
Bagi sekolah tua, suasana ini adalah pendorong yang sangat kuat untuk berubah. Perubahan tersebut tentu saja dibiayai sangat mahal, sementara pemerintah menerapkan kebijakan zero subsidi bagi sekolah swasta. Dampak paling buruk dari suasana ini adalah hilangnya keyakinan pada para pengelola sekolah bahwa sekolah dapat berkembang meskipun tetap menjadi organisasi nirlaba.
Dampak lanjutannya adalah hilangnya empati dari sekolah-sekolah tersebut pada masyarakat kelas menengah bawah dan masyarakat kelas bawah. Ini tidak hanya terjadi pada sekolah-sekolah sekuler tetapi juga sekolah-sekolah yang berlandaskan semangat keagamaan. Gejalanya mudah diamati pada setiap awal tahun ajaran. Masyarakat kelas menengah bawah dan kelas bawah, semakin sulit menemukan sekolah yang dapat di jangkau oleh kantong mereka karena kebijakan penerimaan murid baru tidak pro pada kelas ini. Tidak Cuma soal jumlah uang yang harus mereka bayar tetapi dalam hal cara membayar pun, keterbatasan mereka tidak diperhitungkan.
Bahkan kebijakan seperti subsidi silang yang selama ini cukup konsisten diterapkan di sekolah katolik dan menjadi jalan keluar yang sangat adil pada kelas ini, sudah mulai ditinggalkan oleh banyak sekolah katolik lantaran penerapan kebijakan ini membutuhkan kerja ekstra. Diantaranya kerja keras untuk memastikan, calon orang tua penerima subsidi silang benar-benar membutuhkan subsidi. Dan subsidi tidak jatuh pada para spekulan yang justru mampu secara finansial. Pertanyaannya adalah apakah benar memiliki empati pada masyarakat menengah bawah dan masyarakat bawah akan menginterupsi perkembangan sekolah?
Empati Pada Komunitas
Di satu pihak, sekolah, sadar atau tidak sadar, mulai bertransformasi untuk menjadi lembaga bisnis. Sementara, saat ini, mulai timbul kesadaran baru di kalangan pelaku bisnis bahwa perkembangan berkelanjutan dari sebuah bisnis, sangat ditentukan oleh ketersediaan modal finansial dan modal sosial secara memadai. Oleh karena itu, selain itu memupuk modal finansial, lembaga bisnis mulai memiliki respons sosial, pada masyarakat tempat bisnis tersebut beroperasi. Gejala ini memang belum merata karena berbagai sebab di antaranya karena belum adanya empati dari semua pelaku bisnis pada masalah kemanusiaan. Tapi bagi perusahaan, perkembangan ini adalah gejala yang sehat, karena respons sosial tersebut tidak hanya bersentuhan dengan masalah sosial seperti kemiskinan dan ketidak berdayaan, tetapi berdampak lebih jauh ke arah solidaritas sosial. Respon sosial karena empati, membuat sebuah entitas bisnis jadi lebih mengakar dan dapat mendorong pertumbuhan yang berkesinambungan. Inilah yang diyakini oleh pelaku bisnis seperti Anita Roddick.
Munculnya kesadaran ini, harus menjadi cermin untuk sekolah. Untuk mendorong pertumbuhan, sekolah memang membutuhkan modal finansial tetapi seperti perusahaan, modal finansial saja ternyata tidak cukup. Bagi perusahaan, modal finansial di pupuk pada suatu tahap. Setelah cukup modal finansial baru perusahaan memberi perhatian pada masalah sosial kemanusiaan. Sedangkan untuk sekolah, sebaliknya. Sekolah harusnya dari awal mau memberi tempat pada nilai sosial kemanusiaan dan modal finansial akan mengikutinya. Mengapa? Karena sekolah sangat langsung bersinggungan dengan masalah sosial kemanusiaan.
Jika sekolah, karena empati yang besar, memberi kesempatan bagi masyarakat kelas menengah bawah dan masyrakat kelas bawah untuk mengakses pendidikan bermutu, langkah ini sangat bermakna bagi mereka, karena kelas ini, memang membutuhkannya untuk dapat bertahan hidup. Sedangkan sekolah sedang membangun ikatan emosional dengan cara yang sangat menyentuh masyarakat. Ikatan inilah yang disebut modal sosial itu, karena bukan tidak mungkin, berkat pendidikan bermutu yang mereka akses, kelas ini memilki peluang untuk melakukan mobilitas ke strata masyarakat di atasnya. Pada saatnya, karena ikatan emosional tersebut, mereka dan orang-orang di sekeliling, menjadi real loyal customer sekolah. Inilah masa depan sekolah yang sesungguhnya.
Masalah selanjutnya adalah masalah manajemen. Pada akhirnya masalah manajemen adalah masalah kepemimpinan. Berkaitan dengan ini, di akhir wawancara yang saya kutip pada awal tulisan ini, Anita Roddick mengatakan hal yang penting. Jika sebuah perusahaan memupuk modal finansial sebanyak -banyaknya, tanpa memedulikan nilai sosial kemanusiaan pada komunitasnya maka, menurutnya pada perusahaan tersebut, bukan hanya tidak ada empati tetapi sesungguhnya juga, tidak ada pemimpin. Menurut Roddick seorang pemimpin harus memiliki agenda moral. (Oleh: Sipri Peren)