Orangtua yang Hebat Mengajarkan Cara Berpikir (Bagian Dua)

Family Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya, tetapi ketika buah itu bertumbuh disamping pohon induknya, apakah bisa dijamin pohon kecil itu mendapat cukup sinar matahari dan cukup makanan? Ataukah pohon induk tersebut justru menjadi penghambat pertumbuhan pohon kecil? Dalam konteks pendidikan anak, ilustrasi diatas mungkin saja terjadi. Kita berbangga manakala sikap dan tingkalaku anak sesuai dengan harapan kita. Namun demikian, apabila sikap dan tingkalaku anak kita tidak sesuai dengan harapan kita, apakah seharusnya kita mempersalahkan anak ataukah kita yang harus memperbaiki diri? Itulah alasan, mengapa pendidikan anak kemudian menjadi pekerjaan yang tidak gampang.

Kalau mau jujur, selain kelebihan yang kita punya, sebagai orangtua kita punya kekurangan atau kelemahan. Ada beberapa kelemahan yang mungkin tidak bisa kita perbaiki. Di depan anak, kita berusaha mencari–cari alasan pembenaran ataupun untuk menutup-nutupinya. Namun demikian ketika kekurangan kita dilakukan oleh anak maka kita akan menjadi ahli dalam mengingatkan, menegur, menuding untuk perbaikan.

1. Memperbaiki atau mendidik.

Mendidik anak tidak seperti memperbaiki barang elektronik, mencari tahu sumber kerusakan kemudian memperbaiki dengan mengganti elemen atau onderdilnya. Tidak juga seperti memperbaiki komputer, tinggal memasuki perintah untuk mencaritahu kerusakan atau memperbaiki lalu klik. Apabila kesalahan yang sama terjadi lagi, kita pun memasuki perintah perbaikan yang sama kemudian klik. Lain halnya apabila kita mendidik anak.

Ketika menghadapi kesalahan anak, serta merta kita menegur, menunjukan kesalahan bahkan menjadi ahli dalam memberikan kritik. Kita mengharapkan perbaikan segera. Kita menunjukan superioritas sebagai orangtua dengan embel-embel ancaman dan hukuman ringan. Persoalannya, anak pasti mengulangi kesalahan yang sama lagi, karena perubahan sikap tidak mudah dan membutuhkan waktu dan proses. Kalau anak belum mengikuti apa yang kita inginkan, apakah dengan cara yang sama pula kita menegur mereka, kemudian menuntut mereka harus begini dan harus begitu? Apakah kita lalu mengatakan mereka bandel, tidak mau dengar nasihat orangtua, maunya sendiri? Ataukah kita harus mengubah caranya menegur dan menyadarkan mereka ? Kalau kita hanya terus mengulang teguran dan kata kata maka kita bukan mendidik tapi memperbaiki.

2. Mengulang Pola yang Sama.

Kita mungkin tidak mengingat apa yang kita katakan kepada anak, bagaimana kita menegur dan mengkritik mereka.
Tetapi setiap kali, anak merekam peristiwa itu secara baik. Rekaman itu berkaitan dengan hal-hal yang kurang menyenangkan. Teguran, kritikan, tudingan kita yang memalukan, mengecewakan ataupun yang menyakitkan. Dan setiap kali kita mengulang kritikan atau teguran yang sama, kita memicu arsip memori alam bawa sadar mereka. Itu hanya mendatangkan kekecewaan dan perderitaan yang berulang. Mereka tahu pola orang tua menegur mereka. Mereka paham reaksi orangtua saat mereka melakukan kesalahan. Tanpa sadar mereka siap dengan pertahanan dirinya. Pada situasi seperti ini tidak ada proses pemahaman, proses kesadaran dan pembelajaran, yang ada hanya pertahanan dan pembelaan diri anak. Kita berbalik sambil membuat kesimpulan, anakku keras kepala, tidak mau dengar orangtua dan suka membangkang. Sementara orangtua terus menjadi semakin profesiaonal dalam memberi kritikan dan teguran, ahli dalam peraturan, kamu harus begini, kamu harus begitu. Menurut Agusto Cury, dalam kondisi seperti ini, 99% kritikan dan teguran orangtua untuk perbaikan tidaklah bermanfaat karena tidak mempengaruhi kepribadian anak bahkan hanya membuat mereka semakin agresif dan menjauh.

3. Remaja suka memberontak dan tidak sabar.

Pada masa kanak-kanak, seorang anak melakukan apa yang diajarkan orangtua dalam keluarga. Anak diisi dengan pemahaman awal tentang kehidupan, semacam sebuah tesis pemikiran. Ketika masa remaja anak mulai mendapatkan pengaruh-pengaruh dari luar. Anak akan mengalami pemikiran-pemikiran baru yang berbeda. Pemahaman baru tersebut merupakan antitesis dari pemahaman sebelumnya. Yang pasti dalam tahap antitesis pemikirannya masa remaja selalu menjadi masa pemberontakan, masa melawan peraturan orang dewasa dan mau menentukan sendiri.

Selain memberontak, anak remaja juga tidak sabar, mereka ingin kesuksesan yang luar biasa, ingin kesuksesan secara cepat. Mereka kurang menghargai proses. Dalam setiap presentasi siswa tentang “time line career” , saya menangkap kesan, mereka ingin cepat menyelesaikan pendidikan, cepat bekerja dan cepat sukses diusia muda. Mereka bingung dengan peribahasa “biar lambat asal selamat”. Bagi mereka kalau bisa cepat kenapa harus lambat. Saya akhirnya memahami bahwa, perkembangan zaman ini cukup mempengaruhi pola pikir tidak sabar. Perkembangan zaman membuat mereka tidak tahu cara merenungkan keindahan dalam detil kehidupan. Nasihat orangtua dan guru adalah hal yang menyebalkan sehingga jarang mereka mengindahkan.

4. Orangtua yang Hebat Mengajarkan Cara Pikir.

Agusto Cury dalam bukunya “Brilliant Parents, Fascinating Teacher”, mengatakan bahwa “orangtua yang baik memperbaiki kesalahan, sedangkan orangtua yang hebat mengajarkan cara berpikir”. Sikap orangtua ketika menghadapi kesalahan anak itu yang menentukan kita termasuk orangtua yang hebat atau orangtua yang baik. Sebagai orangtua yang baik, kita peduli dengan kesalahan yang dilakukan. Kita mengkritik dan menghendaki mereka berubah. Kadang-kadang kita terus mengulang dengan teguran dan kritik yang sama. Kita kadang-kadang dibuat bingung, bukannya menurut malah membangkang. Semua upaya perbaikan kesalahan, tidaklah cukup mempengaruhi sikap anak.

Sebenarnya anak sadar apa yang dia lakukan. Dia juga tahu bahwa itu salah. Dia juga sudah menduga bagaimana reaksi orangtuanya ketika mengetahui itu. Ketika kita bereaksi, dia berusaha untuk mempertahankan diri atau paling tidak mendengar telinga kiri keluar telinga kanan. Dia juga bisa membela diri dan agresif.

Orangtua yang hebat, hendaknya mengerti cara pikir anak agar dapat mendidik lebih baik. Usahakan terlebih dahulu memenangkan emosi anak dengan sikap yang unik. Bersikaplah lain diluar harapannya. Katakan sesuatu yang tidak diduga sebelumnya. Bereaksilah berlawanan dengan dugaan anak. Seperti biasa, mereka selalu menunggu anda mengkritik, menghardik, marah ataupun menghukum. Bereaksilah dalam diam sambil menatap padanya. Katakan, “Bapa tidak mendunga, anak begitu menyinggung hati papa seperti ini”. Walaupun kamu telah menyakiti hati papa, papa tetap menyayangimu dengan sepenuh hati. Papa juga menghargaimu dengan sepenuh hati. Sesudah itu tinggalkan dia, biarkan dia memikirkan hal itu. Jawaban kita ini akan menggoncang emosi dan agresivitas mereka.

Untuk mengguncang emosi anak secara luar biasa, dibutuhkan kreativitas dan ketulusan. Lakukan berulang-ulang dengan sabar. Perlahan tapi pasti, mereka akan terpukau dan merekam dengan manis sosok orangtua yang anggun. Suasana ini akan menjadi pintu masuk perubahan sikap dan tingkalaku anak. Orangtua yang baik menunjuk-nunjuk kesalahan anak, mengatakan,”kamu salah”. Orangtua yang hebat bertanya, “ bagaimana menilai tingkalakumu?’. Orangtua yang baik berkata, “kamu gagal”, tetapi orangtua yang hebat berkata. “berpikirlah sebelum bertindak”. Orangtua yang baik menghukum anak yang gagal, tapi orangtua yang hebat merangsang anak mengubah air mata kegagalan sebagai kesempatan untuk bertumbuh.

Sebagai orangtua, boleh jadi kita hanya seorang pekerja kasar, tetapi hebat karena bisa menjadi teladan manakala kita sanggup memikat emosi anak. Mungkin juga kita orangtua yang profesional, pemimpin dengan ribuan karyawan. Tetapi manakala kita tidak sanggup memikat hati anak, kita tidak berarti dalam memori anak. Jadilah orangtua cerdas, ajarilah mereka cara pikir, guncang emosi mereka, biarkan mereka berpikir dan memotret betapa hebatnya anda.(Oleh: Domi Toron / Fotocapsklocknet.com)

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments