Menjadi Badut di Hari Kartini

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com-Pagi ini hidup saya sedikit ribet. Seragam anak saya yang semalam sudah disiapkan ternyata tak jadi dipakai. Alasannya karena hari ini harus menggunakan baju adat. Katanya untuk memperingati hari Kartini. Memori saya terlempar puluhan tahun silam saat saya juga mengalami keribetan yang sama.

Dari dulu saya tak pernah menyukai aturan itu. Bukan tak suka pakaian adatnya, tapi mengapa ada aturan itu. Mengapa peringatan Kartini harus dirayakan dengan berbaju adat?

Eh ternyata waktu ngantar anak saya, di atas motor dia menanyakan hal yang sama, “Yah, kenapa sih hari Kartini harus pakai baju adat?”. Hahaha, ni Bocil pertanyaannya mantab juga. Karena waktu dan tempat tidak memungkinkan saya jawab, “karena kebodohan”. 

Jawaban itu memang singkat, tapi saya serius mengatakannya. Nah, di tulisan ini saya mau mengajak semua pembaca untuk merenungkan kembali apa yang diperjuangkan Kartini.

Kalau kita membaca bukunya, atau paling tidak kita menonton filmnya, kita tahu bahwa salah satu hal yang diajarkan Kartini adalah tentang pentingnya pendidikan, utamanya bagi kaum perempuan. Ide dan gagasan Kartini ini bukan sembarangan di kala itu. 

Gagasan itu semacam terobosan berani dan keluar dari kultur yang kuat di sekitarnya. Di tengah kolonialisme dan feodalisme di masyarakat Jawa kala itu, gagasan Kartini bisa dipandang sebagai bentuk kritik bahkan ‘pemberontakan’.

Baca juga : Semarak Hari Kartini di SD Santo Yosef Tarakanita Surabaya: Pawai Budaya dan Lomba Fashion Show Meriahkan Perayaan

Di zaman kolonialisme, perlakuan terhadap perempuan benar-benar buruk. Bahkan di kalangan bangsawan, seorang perempuan harus berjalan jongkok di depan suaminya. Mematuhi apapun yang diperintahkan bahkan jika hal itu menyakitinya.

Anak-anak perempuan adalah aset bagi bapaknya. Ia semacam nilai tukar yang bisa membuat si bapak mendapatkan apa yang diinginkan baik harta maupun kekuasaan. Perempuan sengaja dirancang mutlak patuh dengan cara menjatuhkan pendidikan.

Padahal, kalau kita membaca buku History of Education karya Levi Seeley, kita bakal tahu bahwa dari berbagai bangsa, awal mula pendidikan sering dijauhkan dari kaum perempuan kecuali satu bangsa: Yahudi. Di saat bangsa lain menempatkan perempuan sebagai kaum kedua setelah laki-laki, bangsa Yahudi memberikan tempat yang lebih baik untuk perempuan.

Mereka menempatkan perempuan sebagai ibu yang menjadi pendidik pertama dan utama bagi anaknya. Inilah salah satu faktor yang diyakini menjadi keunggulan bangsa mereka hingga saat ini.

Kartini pun menyadari pentingnya pendidikan untuk perempuan dan bagaimana kenyataan bertentangan dan penindasan yang dialami kaumnya. Maka, bermula dari keresahan itulah dia memberanikan diri untuk menuliskan surat kepada temannya. 

Tulisan yang berisi kegalauan dan kritik yang berani terhadap feodalisme yang dihadapi oleh kaumnya. Dan bagaimana pendidikan ia pandang sebagai setitik cahaya harapan untuk memperbaiki kesengsaraan itu.

Baca juga : Paus Fransiskus Wafat di Usia 88; Mengenang Pesan Inspiratifnya Tentang Pendidikan

Uniknya, semua perjuangan Kartini saat ini disimplifikasi, direndahkan serendah-rendahnya menjadi hanya sekedar kontes baju adat. Pemikiran dan gagasannya tak lagi didengungkan. Perjuangannya tak lagi diteruskan. 

Benar, perempuan saat ini memang diizinkan bersekolah, tapi apakah mereka benar-benar dididik sehingga layak disandingkan dengan Kartini? Ah, rasanya anak-anak perempuan kita malah lebih sering dijadikan badut penghibur semata.

Buat perempuan yang ingin belajar Matematika dengan benar: https://lynk.id/matemagis

Perjuangan Kartini belum selesai. Feodalisme itu masih ada dan hanya berganti wajah. Sekarang banyak perempuan dijajah algoritma. Nggak percaya? Buka saja tik tok. 

Betapa banyak perempuan yang merendahkan dirinya hanya untuk memuaskan nafsu laki-laki semata. Mereka tak sepenuhnya salah. Sebab tanpa pendidikan, mungkin memamerkan tubuh menjadi satu-satunya cara mencari nafkah.

Kalau kita menyingkirkan kemalasan dan kebodohan kita, ada banyak cara yang lebih baik untuk memperingati hari Kartini di sekolah. Misalnya dengan mengadakan diskusi panel, bedah buku, seminar. 

Atau bahkan menyelenggarakan kegiatan P5 untuk memberdayakan perempuan di sekitar lingkungan sekolah seperti ibu kantin, tukang kebun, pesuruh sekolah dan lain-lain. Kalau anda masih malas juga untuk berpikir, sewa jasa saya sebagai konsultan saja. Hahaha

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments