Depoedu.com-Wacana untuk memberikan libur selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan kembali mencuat di tahun 2025. Ide ini awalnya digagas untuk memberikan kesempatan kepada siswa Muslim agar dapat menjalani ibadah puasa dengan lebih khusyuk tanpa terganggu oleh kegiatan belajar-mengajar. Namun, apakah wacana ini benar-benar realistis?
Libur satu bulan di bulan Ramadhan tampaknya tidak memperhitungkan realitas kehidupan banyak orangtua di Indonesia, terutama mereka yang bekerja di luar rumah. Orang Tua karir menghadapi tantangan besar ketika anak-anak mereka harus berada di rumah selama satu bulan penuh.
Tanpa pengawasan yang memadai, anak-anak rentan terhadap kebosanan, yang dapat memicu perilaku yang kurang produktif, seperti terlalu lama bermain gadget atau kurangnya interaksi sosial yang sehat.
Bagi sebagian orang tua, bekerja dari rumah (work from home) mungkin menjadi solusi. Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki fleksibilitas kerja seperti itu? Orangtua yang bekerja di sektor formal atau informal, yang harus meninggalkan rumah setiap hari, justru akan mengalami peningkatan beban.
Mereka harus mencari pengasuh tambahan atau memikirkan cara lain untuk memastikan anak-anak tetap terpantau selama libur panjang tersebut. Hal ini tentu saja akan menambah pengeluaran dan stres.
Peningkatan Beban Ekonomi Keluarga
Selain tantangan pengawasan, libur panjang di bulan Ramadhan juga berpotensi meningkatkan beban ekonomi keluarga. Dengan anak-anak berada di rumah, kebutuhan konsumsi harian seperti makanan, listrik, dan hiburan cenderung meningkat.
Tidak sedikit keluarga yang sudah merasakan dampak inflasi, dan tambahan biaya ini tentu akan semakin membebani mereka.
Biaya untuk menyediakan makanan tambahan juga dapat menjadi tantangan tersendiri. Ketika anak-anak lebih banyak di rumah, konsumsi camilan atau makanan di luar jam makan utama cenderung meningkat.
Hal ini akan mempengaruhi anggaran rumah tangga, terutama bagi keluarga yang sudah berada dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Selain itu, kebutuhan listrik dan air juga akan meningkat.
Baca juga : Tiga Alasan Pembelajaran Mendalam Tidak Layak Diterapkan
Dengan anak-anak yang lebih sering berada di rumah, penggunaan perangkat elektronik seperti televisi, komputer, atau pendingin ruangan akan lebih tinggi, yang pada akhirnya menambah tagihan listrik bulanan.
Di sisi lain, tradisi Ramadhan di Indonesia seringkali melibatkan berbagai kegiatan sosial dan keagamaan, yang juga membutuhkan anggaran. Mulai dari berbuka puasa bersama hingga menyumbang untuk kegiatan sosial, semuanya membutuhkan biaya tambahan.
Ketika libur panjang menambah beban ekonomi keluarga, orangtua mungkin akan kesulitan memenuhi kebutuhan ini, yang dapat mempengaruhi kualitas ibadah Ramadhan itu sendiri.
Yang tak kalah penting, beban ekonomi yang meningkat ini dapat mempengaruhi stabilitas emosional dalam keluarga. Ketegangan akibat tekanan finansial seringkali berdampak pada hubungan antar anggota keluarga.
Keluarga seharusnya menjadi lebih harmonis selama bulan suci Ramadhan. Sebaliknya, situasi seperti ini dapat menciptakan konflik yang justru mengurangi keberkahan Ramadhan.
Solusi yang Lebih Realistis
Daripada memberikan libur selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan, ada baiknya kita mempertimbangkan alternatif lain yang lebih realistis dan efektif. Salah satunya adalah memperpanjang libur akhir tahun.
Misalnya, libur dimulai pada awal Desember dan siswa kembali masuk sekolah pada pertengahan Februari. Pendekatan ini memiliki beberapa keuntungan:
- Waktu Recharge yang Lebih Panjang: Libur panjang di akhir tahun memberikan waktu yang cukup bagi siswa dan guru untuk benar-benar beristirahat, menghabiskan waktu bersama keluarga, dan memulihkan energi sebelum memulai semester baru.
- Mengurangi Beban Orangtua: Orangtua cenderung lebih siap menghadapi libur panjang di akhir tahun, karena ini adalah periode di mana banyak orangtua juga mengambil cuti kerja untuk merayakan Natal dan Tahun Baru. Hal ini membuat pengelolaan waktu antara pekerjaan dan keluarga menjadi lebih mudah.
- Efisiensi Kalender Akademik: Dengan menggabungkan libur akhir tahun yang lebih panjang, kalender akademik dapat tetap berjalan dengan efisien tanpa mengganggu waktu belajar siswa. Penyesuaian ini juga memungkinkan pembelajaran lebih terstruktur sepanjang tahun.
Pengaruh pada Keseimbangan Kehidupan Siswa
Anak-anak membutuhkan keseimbangan antara waktu belajar, waktu istirahat, dan waktu untuk beribadah. Libur satu bulan penuh di bulan Ramadhan justru berpotensi membuat siswa kehilangan struktur harian mereka.
Baca juga : Daftar Sekolah Kedinasan; Sekolah Gratis, Lulusannya Siap Menjadi Calon PNS
Aktivitas sekolah yang terjadwal, meskipun dalam format ringan seperti kelas Ramadhan, dapat membantu siswa tetap produktif dan terarah.
Program seperti “Kelas Inspirasi Ramadhan” atau “Pesantren Kilat” dapat menjadi solusi kreatif. Dalam program ini, siswa tetap datang ke sekolah dengan jadwal yang lebih fleksibel, misalnya hanya setengah hari, untuk mengikuti kegiatan keagamaan, pembelajaran ringan, atau kegiatan sosial.
Dengan cara ini, siswa dapat menjalani Ramadhan dengan khusyuk tanpa kehilangan ritme belajar mereka.
Kesimpulan
Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, namun juga merupakan negara yang sangat beragam. Kebijakan pendidikan yang terlalu fokus pada satu kelompok tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas berisiko menciptakan ketimpangan.
Wacana libur satu bulan penuh di bulan Ramadhan mungkin terlihat menarik dari perspektif keagamaan, tetapi kebijakan ini perlu dianalisis secara komprehensif.
Dalam banyak kasus, kebijakan semacam ini dapat menimbulkan lebih banyak masalah daripada manfaat, baik bagi siswa, orang tua, maupun sistem pendidikan secara keseluruhan.
Sebagai alternatif, memperpanjang libur akhir tahun dapat menjadi solusi yang lebih baik. Dengan libur yang lebih panjang di akhir tahun, siswa, guru, dan orangtua memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat, merayakan momen penting, dan mempersiapkan diri untuk semester berikutnya.
Pendekatan ini tidak hanya lebih realistis, tetapi juga lebih sesuai dengan kebutuhan dan keseimbangan hidup masyarakat Indonesia.
Dengan pemikiran yang lebih inklusif dan berbasis pada kebutuhan nyata, kita dapat menciptakan kebijakan pendidikan yang lebih adil, efektif, dan berkelanjutan.
Sebab, pendidikan bukan hanya soal jadwal, tetapi juga tentang membangun generasi yang seimbang secara intelektual, emosional, dan spiritual.
Foto: Tirto.id