Depoedu.com-Kebotolan diviralkan oleh orang-orang botol. Salam perpisahan dari Mas Nadiem menjadi angin segar bagi orang-orang yang merindukan UN. Lalu muncul banyak konten viral entah dalam bentuk social experiment atau dalam bentuk monolog yang intinya bernostalgila dengan UN.
Padahal konten-konten ini dibuat secara serampangan oleh orang-orang atau anak-anak yang tidak paham pendidikan. Lalu konten diviralkan oleh emak-emak yang putus asa memaksa anaknya belajar. Itulah fenomena yang tepat untuk menggambarkan kalimat pertama paragraf ini.
Saya mungkin bisa bayangkan betapa beratnya menjadi Menteri Pendidikan yang mencoba melakukan transformasi besar-besaran. It’s okay, kalau urgensi kembalinya UN didasarkan pada argumen yang kuat dan berlandaskan riset.
Kita bisa mendebatkannya. Bukan berdasarkan social experiment nggak jelas yang langsung diamini oleh orang-orang nggak jelas pula. Betapa berat menjadi Menteri Pendidikan untuk bangsa yang IQ-nya 78, yang maunya cuma belajar dari tik-tok.
Agaknya mustahil bagi orang-orang botol untuk mau membaca buku Restitution karya Dianna Gosen. Padahal buku itu ditulis lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Ada satu istilah dalam buku itu yang menarik: illusion of control.
Ilusi kontrol ini menjelaskan bahwa sebenarnya manusia, siapapun itu baik anak-anak atau dewasa, tidak dapat dikontrol oleh orang lain.
Guru seringkali merasa bisa mengontrol siswa dengan ancaman, “Nanti nilaimu akan saya kurangi loh”, “Nanti nggak akan bapak naikkan ke kelas berikutnya”, atau dengan iming-iming seperti, “Nanti bapak beri tambahan nilai”. Sekilas dengan ancaman atau iming-iming itu guru merasa bisa mengontrol siswanya.
Tapi nyatanya itu ilusi. Sejatinya siswa menuruti perintah guru yang berdasarkan ancaman atau iming-iming itu karena otak siswa sendiri mengizinkan si guru untuk “sementara” mengontrolnya. Kenapa? Sebab sementara itu hal yang paling aman buatnya.
Tidak ada manusia yang ingin berada dalam kontrol orang lain secara terus menerus. Itulah sebabnya penjajahan itu melawan kodrat. Jika anda menemukan seorang anak yang berminat dan berbakat di seni melukis, anda tidak bisa memaksanya untuk terus berprestasi di bidang Matematika.
Sekalipun anda menodongkan pistol di kepalanya agar ia mau mempelajari kalkulus. Suatu saat, mungkin saat anda lengah, dia akan menggigit tangan anda dan berbalik menembakkan pistol di kepala anda.
UN adalah ilusi kontrol yang terlanjur dipercaya puluhan tahun terutama oleh orang-orang dengan paradigma tuanya. Banyak pihak menjadikan UN sebagai alat untuk mengontrol generasi muda.
Tapi tanpa disadari, siswa secara diam-diam atau terang-terangan justru melepas kontrolnya. Guru atau sekolah boleh menganggap UN itu penting. Tapi tidak dengan mereka.
Yang sering luput oleh guru dan negara adalah betapa banyak anak yang masa bodoh dengan nilai UN-nya. Mereka tak peduli bahkan jika nilai UN mereka jelek. Sehingga pada akhirnya UN tidak lagi menjadi kontrol atas diri mereka.
Secara tidak langsung, UN adalah ancaman sekaligus iming-iming. Bagi siswa yang tidak unggul di bidang UN, mereka akan terancam dengan kehadirannya. Sementara siswa yang unggul di bidang UN akan merasa dijanjikan dengan banyak privilege jika nantinya nilai mereka bagus.
Untuk orang-orang botol yang malas berpikir, UN memberi semacam ilusi kontrol. Ilusi seolah-olah guru, sekolah, dan negara mampu mengontrol siswanya untuk belajar. Apakah berhasil?
Iya. Sementara. Sebuah sementara yang terlalu singkat dibandingkan masa depan siswa. Kenapa ilusi kontrol disebut ilusi? Sebab yang terjadi memang tidak nyata. Guru mungkin merasa bahwa dengan menjadikan UN sebagai ancaman dia berhasil mengontrol siswanya agar belajar. Tapi, let’s to be fair.
Pada kenyataannya siswa akhirnya bosan atau menyerah. Otak secara alami tidak mengizinkan mereka untuk terus menerus dikontrol. Pada akhirnya mereka akan menemukan jalan lain.
Baca juga : Kegiatan Field Trip TK Sint Carolus Tarakanita Bengkulu di SEIRING ART PEACE: Pembelajaran Kreatif untuk P5
“Oke kalau guru saya pingin nilai UN baik, saya akan berikan dengan cara saya sendiri”. Akhirnya muncul cara-cara yang tidak mengindahkan integritas seperti trik cepat, joki UN, bocoran kunci jawaban dan berbagai kecurangan lain.
UN pada akhirnya menyesatkan kita dari tujuan. Guru-guru dan sekolah percaya bahwa UN dapat mengontrol siswa agar mengarah pada tujuan. Tanpa disadari UN malah membuat ilusi yang menipu.
Banyak guru yang pada akhirnya lupa dengan tujuan awal agar siswa belajar, dan malah menjadikan nilai UN sebagai tujuan. Akhirnya bimbel dan trik cepat menjamur dimana-mana. Guru merasa siswa akan belajar dengan giat agar memperoleh nilai UN yang memuaskan.
Tapi yang tidak disadari malah mengarahkan siswa ke tindakan curang menghalalkan segala cara untuk lulus UN. Pada akhirnya niat menjadikan UN agar siswa mau belajar justru mengarahkan guru dan siswa ke tujuan yang berlawanan.
Lalu jika bukan UN, apa yang harus dilakukan? Sebenarnya transformasi Kurikulum Merdeka sudah cukup baik. Hanya saja perubahan paradigma besar-besaran di Kurikulum Merdeka butuh waktu untuk diterima.
Mengganti ujian-ujian dengan kegiatan proyek bagi sebagian orang botol masih tidak masuk akal. Butuh waktu memang bagi warga IQ 78 untuk memahami esensi Kurikulum Merdeka dan semangat yang dibawanya.
Kurikulum Merdeka dan kebijakan Mas Menteri memang belum sempurna. Lebih-lebih dalam soal peningkatan kompetensi guru. Misalnya, kok bisa PMM dalam sekian bulan mengubah guru yang belum profesional menjadi tersertifikasi profesional.
Ini jelas perlu dipertanyakan. Silakan ubah kurikulumnya, perbaiki sebaik-baiknya, tapi jangan hilangkan semangat kemerdekaannya. Silakan kalau Eyang Menteri yang sekarang mau bikin branding baru, tapi jangan usir ruh Merdeka Belajar dan keberpihakan pada muridnya.
NB: Btw anda bisa memaknai sendiri istilah Kebotolan. Hahaha