Depoedu.com-Secara harfiah kata guru dalam bahasa Sansekerta berarti berarti berat. Secara semantik penggambaran terhadap seseorang atau sekelompok orang yang melakukan pekerjaan mendidik sebagai pekerjaan yang berat karena tanggung jawab dan dampak pengaruhnya.
Dalam bahasa Indonesia kata guru merujuk pada profesi pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi murid mempertanggungjawabkan hasil penilaian tersebut.
Sejak zaman dahulu peran guru sudah dianggap penting karena dikaitkan dengan perkembangan peradaban masyarakat. Ketika pendidikan masih menjadi hak eksklusif keluarga kerajaan dan kaum bangsawan, guru memiliki hak istimewa dan menikmati fasilitas istimewa sebagai pengakuan kerajaan akan pentingnya peran mereka.
Di zaman modern, di era demokrasi, karena tuntutan demokrasi di bidang pendidikan, pendidikan menjadi hak semua orang, maka guru semakin diperlukan. Namun guru tidak hanya diperlukan, tetapi juga dituntut untuk terus mengembangkan keahliannya, karena pekerjaan mendidik tidak lagi sederhana.
Baca juga : Menggali Lebih Dalam Faktor-Faktor Yang Menentukan Usia Harapan Hidup Di Indonesia
Kerumitan profesi mendidik tersebut terjadi karena perkembangan ilmu pengetahuan di satu sisi. Di sisi lain, peserta didik sebagai subjek termasuk masyarakat pendukungnya pun, terus berkembang, juga karena dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan.
Profesi guru kemudian diakui sebagai profesi yang profesional dengan persyaratan seperti memiliki tingkat pendidikan sarjana, dinaungi oleh organisasi profesi guru dan memiliki kode etik profesi. Di Indonesia guru profesional itu hanya secara de jure.
Secara de facto guru sebagai profesional itu merupakan kenyataan yang masih harus diperjuangkan, di antaranya karena organisasi profesi yang menaungi guru belum dapat mengembangkan dan memperjuangkan profesi guru, karena tidak memiliki kekuatan tawar politik.
Selain itu, guru diakui sangat dibutuhkan dan diakui sebagai pekerja profesional, tapi hak guru sebagai pekerja profesional tidak diberi oleh negara. Ini hanya terjadi di negara yang politisi-politisinya fasih bicara tentang moral hanya sejauh elektabilitasnya.
Jika elektabilitasnya sudah aman, atau tidak perlu lagi elektabilitas, mereka tidak peduli pada tindakan moral. Maka guru hanya dibicarakan menjelang pemilu, karena suaranya masih diperlukan oleh para politisi tersebut agar bisa terpilih.
Baca juga : Catatan Kritis Tentang Arah Pengembangan Literasi Kita
Setelah selesai pemilu, setelah terpilih, ada guru yang tidak digaji 10 tahun pun, atau ada banyak guru yang setiap bulan hanya digaji Rp. 300.000,- meskipun kuitansi tertulis Rp.9 juta, atau guru digaji rendah di wilayahnya, mereka tidak peduli.
Nanti menjelang hari guru, karena peringatan tersebut dekat dengan pemilu, di mana suara guru penting untuk elektabilitasnya mereka baru sibuk lagi bicara tentang kesejahteraan guru, atau mengakui bahwa guru sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa.
Maka di “Hari Guru Nasional” ini saya menghimbau kepada para politisi untuk berhenti mengapresiasi guru dengan kata-kata. Kata-kata apresiasi, kalau tidak dibuktikan dengan tindakan setelah itu, yang berdampak menyejahterakan guru, itu sama dengan kebohongan.
Sudah saatnya guru mendapat haknya karena nafkah yang diperoleh dari profesinya. Apalagi profesi tersebut dianggap sebagai salah satu profesi penting untuk merebut peluang menjadi negara maju di tahun 2045, dengan memanfaatkan bonus demografi.
Foto: Kompas.com