Membawa Koperasi Merah Putih ‘Masuk’ Sekolah-Sekolah di NTT

DEPO Topik
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com  Sudah umum dimana-mana bahwa sekolah-sekolah negeri dilarang untuk menjual buku Pelajaran juga seragam sekolah kepada para siswanya. Terutama kepada para siswa baru setiap tahun ajaran baru.

Kita semua tahu bahwa larangan tersebut tentu dibuat dengan maksud baik. Agar supaya para orang tua memiliki beragam pilihan mengenai seragam sekolah dan/atau buku pelajaran bagi anak-anaknya.

Tentu alasan ini bisa diterima dengan mudah. Sebab bukan lagi menjadi rahasia bahwa kadang ada sekolah-sekolah atau katakannyal oknum guru yang menggunakan kesempatan tahun ajaran baru untuk ‘menjual’ seragam dan/atau buku pelajaran.

Bisa jadi sekolah yang menyelenggarakan atau menyediakan buku pelajaran dan seragam sekolah ini, menetapkan harga yang terlalu besar sehingga membebankan bagi para orang tua siswa. Apalagi jika para siswa diwajibkan untuk membeli dari sekolah.

Orang tua bisa saja menjadi sangat keberatan apabila kewajiban bagi para orang tua ini diikuti oleh penetapan harga yang tinggi. Orang tua yang tidak memiliki banyak pilihan akhirnya terpaksa menyetujui ketentuan sekolah ini.

Aturan ini jelas berskala nasional. Bisa jadi dibuat di kota-kota besar, dengan mempertimbangkan berbagai aspek local di kota-kota besar ini tanpa memperhatikan konteks aturan ini jika diberlakukan juga di daerah-daerah, semisal NTT.

Menjelang tahun ajaran baru, beberapa waktu lalu, ramai lagi oleh berbagai platform media sosial yang meneruskan berita mengenai sikap Ombudsman terkait sekolah menjual buku dan/atau seragam kepada siswa.

Baca juga : Audit Internal: Menguatkan Transparansi, Meneguhkan Akuntabilitas

Untuk melengkapi tulisan ini, saya kemudian mengecek beberapa sumber dari ruang digital mengenai larangan tersebut. Dan banyak berita terkait, muncul bertubi-tubi dalam hasil pencarian saya.

Dan banyak dari berita-berita ini, bertahunkan 2024 atau sebelumnya. Ini jelas menjadi petunjuk bahwa larangan soal sekolah negeri menjual seragam kepada para siswa bukanlah barang baru.

Belum lama ini, ketika berkesempatan bertemu dengan salah seorang sahabat yang juga kepala sekolah salah satu SMA Negeri di kampung halaman kami di NTT, dalam obrolan kami itu juga menyinggung soal larangan tersebut.

Testimoni bapak kepala sekolah mengenai seragam bagi para siswa baru juga sekaligus memberi ruang berpikir dari sisi yang lain, yang kemudian menginspirasi hadirnya tulisan ini.

Jika di kota-kota besar, para orang tua dengan mobilitas yang tinggi, dengan berbagai pilihan yang beragam, bisa mendapatkan seragam sekolah secara mudah. Berbeda dengan orang tua yang tinggal di pelosok-pelosok.

Dari kepala sekolah ini, saya kemudian mendengar suara para orang tua yang tidak tersampaikan. “Sebaiknya, kami beli seragam dari sekolah saja. Supaya tidak buang uang tambahan ke kota untuk cari seragam”. Kira-kira seperti ini suara para orang tua yang ada di pelosok-pelosok.

Bisa jadi, bagi para orang tua yang kesulitan akses ke pusat-pusat perbelanjaan, mereka yang tinggal di pelosok-pelosok, urusan membeli seragam bukan sebuah hal yang mudah. 

Mereka harus merelakan waktu, dan tentu saja uang transportasi pergi-pulang ke kota ‘hanya’ untuk membeli seragam sekolah.Mengukur dari ukuran ini, saya tentu juga lebih memilih untuk menyerahkan urusan seragam anak melalui sekolah. Minimal itu bisa menghemat waktu juga biaya tambahan.

Pada titik ini, tentu sekolah tidak bisa membuat pilihan yang mudah. Mengkoordinasi kebutuhan seragam bagi para siswa baru di satu sisi, berhadapan dengan larangan sekolah “menjual” seragam di sisi yang lainnya.

Baca juga : SMA Tarakanita 2 Jakarta Sosialisasikan Program Unggulan Sekolah dalam Pertemuan Orang Tua Murid

Dan karena itu, hal ini bisa menjadi salah satu alternatif unit usaha Koperasi Merah Putih. Kebutuhan sekolah tentu memiliki peluang yang besar. Sebab perlengkapan sekolah Adalah kebutuhan pokok, tidak hanya bagi para pelajar tapi juga bagi para orang tua.

Seragam, buku tulis, buku pelajaran, alat tulis, Sepatu atau lain rupa aksesoris dan kebutuhan pelajaran lain tentu harus disiapkan. Siswa dan guru tentu membutuhkannya. Dan kebutuhan ini harus dibeli. Membeli dari mereka yang menjual.

Larangan sekolah menjual seragam dan/atau perlengkapan sekolah lain, harus bisa dimanfaatkan oleh para orang tua atau komite untuk memikirkan alternatif lain misalnya mengkoordinir pemenuhan kebutuhan para siswa terkait perlengkapan sekolah secara mandiri.

Dan salah satu wadah yang tepat yang secara bisnis bisa menjadi peluang yang baik bagi para orang tua yaitu membentuk Koperasi. Dan karena Koperasi Merah Putih (KMP) sedang digaungkan dari Jakarta maka, KMP juga bisa menjadi wadah yang pas bagi para orang tua dan komunitas sekolah lainnya untuk mencukupi semua kebutuhan sekolah.

Dan saya percaya bahwa, walaupun realisasi dari gagasan ini, tidak mudah, minimal semoga tulisan ini membuat kita semua menjadi lebih peka untuk memotret berbagai peluang untuk unit-unit usaha KMP dari setiap peristiwa ekonomis yang bersebaran di mana-mana.

Komunitas sekolah dan berbagai kebutuhan yang hadir dalam komunitas tersebut, jelas merupakan sebuah unit usaha yang memiliki skala kebutuhan yang besar.

Dan tentu dengan dikelolah secara profesional dan akuntabel, Koperasi Merah Putih bisa menjadi mesin penggerak ekonomi di desa, bergandengan tangan sinergis dengan BUMDes-BUMdes di desa-desa kita di NTT 

Tulisan ini pernah tayang di eposdigi.com. ditayangkan kembali dengan seizin penulis

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments