Pendapat Ahli tentang Kasus Kematian Siswi SMKN 1 Cihampelas Setelah Sekolah ini Mengalami Keracunan MBG

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com-Seorang siswi SMKN 1 Cihampelas Kabupaten Bandung Barat, BR dinyatakan meninggal oleh petugas pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cililin, pada Selasa (30/9). Kematiannya menjadi kontroversi karena sebelumnya pada Rabu (24/9), 167 siwa sekolah ini mengalami keracunan massal akibat mengkonsumsi paket Makanan Bergizi Gratis. 

BR memang dinyatakan ikut mengkonsumsi paket makanan MBG dengan menu telur, pecel, dan kentang rebus tersebut. Namun namanya tidak terdapat dalam daftar nama siswa yang keracunan dalam insiden tersebut, karena BR dan 32 teman sekelasnya tidak termasuk yang mengalami gejala keracunan seperti dialami oleh 167 siswa lainnya. 

Hal tersebut diakui oleh wali kelas BR, Imron Komarudin seperti dilansir pada laman BBC News. Imron Mengaku masih sempat ketemu BR pada Rabu sore setelah insiden tersebut. Kepada Imron, BR mengaku bahwa kondisinya baik-baik saja. Imron pun sempat meminta BR minum susu atau air kelapa untuk mencegah keracunan. 

Karena fakta ini pula, kepada Badan Gizi Nasional (BGN) dalam laporannya kepada sekolah menegaskan bahwa kematian BR tidak terkait kasus keracunan MBG. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Dinas Kesehatan Bandung Barat, bahwa gejala yang dialami BR pada Senin (29/9) sudah lebih dari 2 x 24 jam setelah konsumsi paket MBG.

Berdasarkan dua fakta ini, Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hidayana dalam pernyataannya menegaskan bahwa kematian BR tidak terkait insiden keracunan MBG di SMKN 1 Cihampelas. Lebih lanjut Dadan menegaskan, BR juga tidak tercatat berobat ke fasilitas kesehatan karena keracunan MBG seperti korban lainnya. 

Baca juga : Mengembangkan Sikap Tanggung Jawab pada Anak

Bantahan dari Pakar Kesehatan

Namun sejumlah pakar kesehatan berpendapat berbeda. Menurut mereka dugaan kematian BR karena keracunan paket makanan MBG tidak dapat disingkirkan begitu saja. Misalnya datang dari pakar epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono. Menurut Pandu, pemerintah tidak bisa serta merta menyatakan kematian BR bukan karena keracunan MBG. 

“Pemerintah tidak bisa serta merta menyatakan kematian BR tidak terkait kasus keracunan paket makanan MBG. Terlebih BR sempat mengkonsumsi paket MBG dan terjadi kasus keracunan di sekolah tersebut,” jelas Pandu Riono pada Yuli Saputra dari BBC Indonesia. 

“Jangan terburu-buru bilang itu bukan karena keracunan MBG, itu kan ketakutan semuanya, lalu bilang bahwa itu bukan karena MBG. Sebaiknya nyatakan bahwa situasi masih belum jelas. Kemungkinan kematian karena keracunan paket MBG tidak dapat disingkirkan begitu saja,” lanjut Pandu. 

Menguatkan pendapat Pandu Riono, BBC juga mengutip pakar kesehatan masyarakat Prof. Tjandra Yoga Aditama. Menurut Yoga, gejala keracunan bisa timbul dalam beberapa jam sesudah makan tetapi mikroorganisme lain membutuhkan waktu beberapa hari untuk memunculkan gejala. 

Ia kemudian merujuk Center of Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, gejala keracunan yang ditimbulkan oleh bakteri atau virus memang berbeda satu sama lain. Ia mencontohkan, keracunan akibat E coli gejalanya baru muncul setelah 3 sampai 4 hari. Sedangkan keracunan akibat cyclospora dan listeria gejala baru muncul setelah 1-2 minggu. 

Baca juga : Kebijakan Pembatasan Jumlah Kuota Penerimaan Beasiswa LPDP Tidak Terkait Isu Efisiensi?

Oleh karena itu, menurut mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara ini, untuk memastikan penyebab kematian BR, ia mengusulkan agar dilakukan otopsi. Menurutnya ini sangat diperlukan untuk penanganan lebih baik MBG di masa yang akan datang. Namun usul ini ditolak oleh keluarga BR. 

Perlu SOP penanganan Kasus Keracunan

Untuk penanganan kasus keracunan MBG yang lebih baik, pemerintah perlu merumuskan Standar Operasional Prosedur (SOP) agar kasus seperti ini tidak terulang pada saat yang akan datang. SOP tersebut diantaranya tidak hanya fokus menangani korban yang gejalanya muncul hingga 2 x 24 jam saja. 

Para penerima paket MBG yang tidak menunjukkan gejala keracunan terus dipantau oleh petugas kesehatan sampai jangka waktu tertentu, misalnya hingga 2 minggu. Ini adalah waktu  terlama munculnya gejala keracunan yang disebabkan oleh bakteri listeria menurut CDC Amerika Serikat. 

Setelah SOP tersebut selesai dibuat, pemerintah diminta untuk memastikan SOP tersebut berjalan. Selama ini pemerintah banyak membuat SOP, namun SOP tersebut tidak berlaku di lapangan, karena tidak diawasi implementasinya di lapangan.   

Kita berharap dari kasus-kasus yang muncul saat ini, pemerintah dan pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi program ambisius MBG, terus melakukan perbaikan. Dengan demikian, implementasi program ini terus mengalami perbaikan sehingga berdampak lebih positif pada pertumbuhan anak-anak Indonesia. 

Foto: Koran Gala

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments