Depoedu.com-Upaya pemerintah menangani kekerasan termasuk kekerasan seksual, sudah dilakukan dengan berbagai langkah, mulai dari disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual nomor 12 tahun 2022 hingga Kemendikbud Ristek mengeluarkan Permendikbud Ristek nomor 46 tahun 2023.
Permendikbud Ristek tersebut mengatur tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) Ini adalah aturan lanjutan untuk secara tegas menangani dan mencegah kasus kekerasan termasuk kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Sebagai tindak lanjut dari implementasi Permendikbud Ristek tentang PPKSP tersebut, Nadiem Makarim dalam peluncuran Merdeka Belajar episode ke-25 mendorong satuan pendidikan agar membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) dalam waktu 6 sampai 12 bulan.
Jika langkah yang didorong ini sudah dilaksanakan misalnya hingga terbentuknya TPPK sampai ke tingkat satuan pendidikan, maka diharapkan, anak-anak sudah lebih terlindungi dari berbagai bentuk tindak kekerasan, termasuk tindak kekerasan seksual.
Baca juga : Didikan Yang Keras Hanya Menghasilkan Perubahan Perilaku Yang Semu, Baca Hasil Penelitian Ini
Namun hasil penelitian Lembaga Wahana Visi Indonesia yang dirilis bulan Desember 2023, masih menyimpulkan bahwa anak-anak usia sekolah masih rawan mengalami kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Kesimpulan tersebut disampaikan oleh peneliti Wahana Visi Indonesia Andi Misbahul Pratiwi dalam diskusi daring seperti dilansir pada laman kompas.com belum lama ini. Kata Andi, anak yang bersekolah di institusi pendidikan berbasis asrama, lebih rawan mengalami kasus kekerasan seksual.
Kesimpulan tersebut dibuat setelah tim melakukan wawancara mendalam, forum group discussion (FGD) dengan narasumber dari DP3AKB, UPTD PPA, Kepolisian, Organisasi Perempuan, Tokoh Agama dan Tokoh Adat di Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat.
Oleh karena itu, Andi menegaskan bahwa harus benar-benar ada perhatian khusus agar tidak terjadi lagi tindak pidana kekerasan seksual yang menurutnya justru banyak dilakukan oleh tenaga pendidikan di sana.
Misalnya hasil wawancara di pesantren di kota Palu ditemukan kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan berbasis agama tersebut. Menurut Andi, ini menjadi sulit, bagaimana anak-anak ini didampingi? Bagaimana upaya pencegahan tindakan kekerasan seksual dapat dilakukan?
Baca juga : Kriteria Nilai Minimal Rapor Dan Ijazah Di 8 Sekolah Kedinasan
Menurut Andi, kasus seperti itu juga berkorelasi dengan terpaparnya anak-anak tersebut dengan konten pornografi di media sosial. Oleh karena itu, menurutnya perlu ada pendampingan tentang bagaimana menggunakan internet dan media sosial secara sehat.
Dari riset mereka, Andi juga menyimpulkan bahwa pada umumnya sekolah-sekolah belum memberikan pendampingan tentang bagaimana menggunakan internet dan media sosial secara sehat. Menurut Andi, kekerasan seksual yang terjadi ada kontribusi dari praktik tidak sehat dalam menggunakan internet tersebut.
Selain itu, hasil riset seperti ini,juga menggambarkan bahwa implementasi dari Permendikbud Ristek no. 46 tahun 2023 seperti pembentukan TPPK dan satgas di daerah untuk mencegah perundungan termasuk kekerasan seksual belum efektif terlaksana.
Inilah tipikal birokrasi pendidikan di Indonesia yang cara kerjanya sangat pasif, linier, tidak kontekstual dan top down. Inisiatif tidak muncul berdasarkan pengamatan kontekstual. Inilah yang membuat implementasi Permendikbud Ristek nomor 46 tidak efektif.
Melihat tipikal birokrasi pendidikan seperti itu, pengawasan dapat dilakukan lebih baik lagi untuk memastikan upaya pencegahan terhadap tindak kekerasan mulai dari perundungan hingga kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan.
Foto: detik.com