Kebijaksanaan Anak Kos

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Enam tahun merantau dan tinggal di kos-kosan rupanya mengasah sedikit kebijaksanaan saya yang rupanya membawa banyak kemudahan. Hehehe. Maka beberapa hari ini ketika memikirkan tentang jadwal saya yang sudah ditetapkan untuk pulang kembali ke rumah setelah masa studi ini selesai mengingatkan saya pada kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, mengenangnya dan membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Lalu saya pikir, mungkin baik jika saya menulisnya dan membagikannya kepada Anda, yang akan mulai jadi anak kos, atau bahkan mungkin sudah sedang jadi anak kos.

1. Banyak akal

Urusan pakaian

Beberapa tahun lalu, di masa studi sebagai mahasiswa baru, saya kerap menyerahkan pakaian bekas pakai ke tempat laundry. Karena jadwal kuliah di semester-semester awal yang padat merayap juga kesibukan lain di kegiatan-kegiatan mahasiswa membuat saya merasa ringan tangan untuk membayar Rp 2.000,-/kg pakaian kotor (itu tarif di sekitar tahun 2012-2013. Sekarang sudah Rp 4.000,-/kg). Setiap minggu saya pasti menyambangi tempat laundry. Membayar tiga ribu, kadang tiga ribu lima ratus sudah cukup untuk mendapatkan baju dan celana yang rapih, bersih dan wangi setiap minggu. Bagi saya itu cukup murah, jauh lebih murah bahkan. Apalagi di tempat kelahiran, tidak pernah saya temukan tempat khusus yang menerima pakaian kotor untuk dicucikan. Ketika tiba di tempat kuliah, saya menggunakan jasa itu antara karena merasa murah dan juga merasa takjub, hehehe. Maklum! Tetapi lama kelamaan saya menghitung-hitung juga. Dalam sebulan saya menghabiskan rata-rata 15 ribu untuk pakaian saja. Padahal pada tahun-tahun itu 15 ribu cukup untuk 4 kali makan biasa atau sekali makan enak pada malam minggu di Jogjakarta. Akhir cerita, saya beralih ke perhitungan baru. Saya mencoba untuk mencuci sendiri dengan membeli detergen wangi dan ampuh menghilangkan noda-noda pakaian. Selebihnya, yang dibutuhkan hanyalah niat untuk mencuci. Maka demikianlah, detergen itu harganya 14 ribu, saya pakai selama kurang lebih 8 minggu mencuci sendiri. Akal saya? Sebenarnya terletak di jenis detergen yang saya beli. Saya selalu membeli detergen dengan merk yang sama, di tempat yang sama, yang menghadiahkan 1 pcs piring kaca. Dan lihatnya, saya sudah punya stok satu lusin lebih piring kaca berkat langkah saya ini. Itu baru satu urusan, soal pakaian. Masih banyak lagi akal saya yang terasah ketika jadi anak kos.

Urusan buku

Perpustakaan kampus kami luar biasa buat kagum. Semua jenis buku tersedia di sana. Mencakup berbagai bidang dan bahkan berbagai bahasa dan tahun terbitnya. Jika teman-teman sekelas memilih membeli bukunya di took-toko buku ternama, saya rajin membuat modul sendiri. Modul itu berisi potongan-potongan bab yang menurut saya berkaitan satu sama lain, saya fotocopy (gratis kalau di perpustakaan kampus) lalu saya jadikan satu, tentu dengan mencantumkan sumbernya, menjadi satu dua buku pegangan yang tak ada duanya di seantero fakultas. Hehehe. Dengan begini saya mudah sekali memahami satu topic tertentu tanpa perlu membeli bukunya untuk kebutuhan kuliah. Juga, murah. Hehehe. Dengan penghematan ini saya selalu mempunyai stock uang untuk saya pakai membeli buku lain yang saya sukai (seperti novel bahasa Inggris atau buku-buku fiksi lainnya). Ya, kesukaan saya untuk membeli buku mungkin sama seperti teman-teman perempuan lain yang memiliki kesukaan membeli baju atau pernak-pernik lainnya. Hanya barangnya saja yang beda. Soal kalap dan undang-undang pribadi soal sebulan-wajib-beli-satu nya sama persis. Hahaha. Maka berbahagialah saya. Jika teman-teman kebanyakan bisa berbelanja benda kesukaan hanya di awal bulan, maka saya malah selalu di akhir bulan tergantung banyaknya sisa uang yang berhasil saya sisihkan pakai akal-akal itu tadi.

Urusan makan

Ya, untuk urusan makan pun saya banyak akalnya. Sejak kecil terbiasa hidup di rumah dan selalu makan tiga kali sehari tanpa banyak usaha membuat saya kesulitan juga awal-awal jadi anak kos. Harus mengusahakan makanan sendiri dan juga harus dimakan sendiri, tidak ada temannya. Teman kos pun kebanyakan memiliki jadwal kuliah yang berbeda sehingga lebih sering masing-masing terpaksa makan sendiri-sendiri. Awalnya saya pasrah saja dengan menghabiskan paling banyak 5 ribu rupiah untuk makan di warung. Paling ada tambahan sedikit jika menghabiskan waktu bersama dengan teman-teman untuk mengerjakan tugas kelompok di café seputaran kampus atau sejenisnya. Tetapi ketika berhitung-hitung kembali, saya memutuskan untuk pindah aliran. Yakni bersepakat dengan beberapa teman satu kos untuk patungan dan membeli rice cooker dan beras setiap bulan. Dan setiap hari kami masak nasi di tempat yang sama dan bisa memakannya sesuai kebutuhan. Tinggal membeli lauk saja. Ini menekan banyak sekali dana yang harus kami keluarkan. Makan pun nyaman, teratur dan, murah. Hehehe.

Urusan internet

Masa kuliah menuntut banyak sekali intensitas dalam mengakses internet. Pulsa data pun sebenarnya jauh lebih murah daripada di tempat kelahiran saya. Tetapi saya selalu lebih memilih untuk menggunakan fasilitas kampus. Sangat meringankan biaya dan juga tidak banyak yang dibutuhkan, selain tentu saja, niat. Saya selalu berada di area kampus dan perpustakaan (yang koneksinya luar biasa kuat dan lancar), sekalipun saya sedang tidak ada jadwal kuliah dan bahkan hari minggu. Sungguh bukan karena sok rajin, tetapi itu yang saya butuhkan. Dan saya bisa berselancar di dunia maya tanpa mengeluarkan uang, semua hanya dengan modal niat.

2. Tahu dan paham rasanya hidup prihatin

Kenapa kok jadi anak kos kesannya sengsara dan serba terbatas ya? Sebenarnya tidak juga. Kalau kita tinggal di kos, kan sudah pasti segala sesuatu berbeda dengan di rumah. Segala sesuatu mesti diurusi sendiri dan tidak semua hal bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan uang. Uang bulanan yang diberikan orangtua sudah pasti mencukupi. Tetapi kehidupan sendiri membuat kita terlatih untuk mempersiapkan segala sesuatu mulai dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 31. Tidak tega rasanya harus minta tambah kepada orangtua di tengah bulan. Untuk itu, anak kos semacam memiliki satu prinsip, yaitu berhemat sebisa mungkin untuk meraih kehidupan yang sejahtera dari tanggal 1 sampai tanggal 31 setiap bulan. Hehehe. Nah, oleh prinsip inilah kita bisa belajar merasakan bagaimana hidup prihatin. Bisa menghargai uang SKS yang dibayarkan orangtua setiap bulan karena biaya 1 SKS itu sudah bisa kita pakai buat nonton di biskop, jalan-jalan ke pantai dan membeli tas dan baju terbaru. Dengan kesadaran itu sangat mungkin bagi kita sebagai anak kos yang berbakti, berusaha sekuat tenaga agar tidak perlu mengulang mata kuliah-mata kuliah. Dengan begitu, alarm dalam kepala yang kira-kira berbunyi, “kan sayang uangnyaaa,” akan selalu berdering. Tidak berhenti sampai di itu, menjadi anak kos juga kita terlatih untuk menerima segala sesuatu apa adanya. Karena selama kuliah dan tinggal jauh dari orangtua, kita bakal belajar menghargai kebaikan-kebaikan juga situasi-situasi baik yang kecil dan sederhana. Ketika tidak semua hal yang kita inginkan bisa langsung terpenuhi sama seperti ketika kita berada di dekat orangtua. Kita bakal terlatih untuk memiliki banyak pertimbangan terutama ketika hendak membeli atau membelanjakan uang kita untuk sesuatu.

3. Menghargai pengorbanan

Ketika menjadi anak kos, sudah pasti kita tidak bersama-sama lagi dengan orangtua. Lalu mulailah kita bergumul dengan yang namanya rasa rindu. Tidak saja dengan orangtua tetapi dengan masakan atau pun hal kecil lainnya yang tidak bisa kita dapatkan di luar rumah. Ketika teman-teman saya yang tidak tinggal di kos masih sering mengeluh soal kurangnya uang jajan, tidak adanya waktu pergi liburan, dan lain-lain, saya selalu mengingatkan mereka bahwa setidaknya mereka bisa pulang ke rumah dan bertemu keluarga. Bukankah itu jauh lebih berharga di atas segalanya?

Begitu juga ketika ada masa-masa sulit yang harus dihadapi. Misalnya menghadapi dosen yang sulit diajak berkompromi atau tugas-tugas mata kuliah yang sulit dan komplek untuk diselesaikan, ingatan akan nyamannya rumah dan segala isinya terasa sangat berharga. Dari ingatan itu lalu bakal timbul semangat dan terbitlah niat untuk terus bertahan demi bisa pulang ke rumah lebih cepat ketika masa studi bisa diselesaikan dengan baik. Saat liburan dan mendapat anugerah untuk bisa pulang ke rumah, segala sesuatu menjadi sangat berharga. Karena saat di kos, berbagai rasa rindu itu melanda dan membuat kita mengingat betapa sebenarnya kita tidak pantas mengeluh. Melainkan selalu bersyukur.

Nah, kira-kira demikian yang saya rumuskan dalam renungan di siang bolong yang panas ini. Keengganan saya untuk pensiun dari status anak kos sebenarnya bukan tanpa alasan. Setelah melalui berbagai lika-liku hidup sebagai anak kos yang masih dan terus bergantung pada orangtua, saya menyadari bahwa hidup seperti itu perlu juga kita jalani. Supaya kita juga bisa belajar, bahwa kita tidak hidup untuk diri sendiri dan bahwa mencari uang itu amat sulit. Juga bahwa dalam hidup, kita perlu memiliki pengorbanan-pengorbanan untuk mencapai sesuatu. Tidak ada satupun hal yang bisa kita raih begitu saja tanpa usaha. Kelak jika saya sudah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, kenangan dan pelajaran dari menjadi anak kos pasti bermanfaat banyak bagi saya agar bisa menjadi pribadi yang lebih tahu menghargai apapun yang sudah kita terima dan jalani. Semoga kalian, yang sudah pernahb jadi anak kos, yang baru akan jadi anak kos, atau juga yang tidak pernah jadi anak kos, bisa merenungkan ini juga, Salam, anak kos! (Oleh: Erlyn Lasar / Foto: haikudeck.com)

0 0 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments